basecamp

Jika Moratorium Hutan Setop, Masalah Besar Menanti

Hutan Indonesia, menanti kebijakan Presiden memperpanjang Inpres Moratorium. Saat ini pemerintah belum siap menghentikan moratorium sebab tujuan kebijakan ini dibuat seperti one map dan pembenahan izin-izin belum selesai.
Foto: Rhett Butler
Kebijakan moratorium pemberian izin baru di hutan dan gambut yang akan berakhir Mei tahun ini selayaknya diperpanjang. Jika tidak, konflik agraria dan sumber daya alam (SDA) maupun tumpang tindih perizinan akan makin parah. Mengenai anggapan pengusaha moratorium menghambat pertumbuhan perkebunan, terutama sawit, dinilai tak beralasan.  Demikian terungkap dari Journalist Class bertema,” Moratorium Hutan untuk Tata Kelola Hutan yang Lebih Baik,” yang diselenggarakan Kemitraan dan Yayasan Perspektif Baru (YPB) di Jakarta, Selasa(19/3/13).

Mubariq Ahmad dari Kelompok Kerja Strategi Nasional REDD+ merekomendasikan, perpanjangan moratorium sampai dua tahun lagi. Perpanjangan ini perlu, karena pemerintah belum siap dengan satu peta (one map) dan  belum ada sistem tata kelola baru pemberian izin pemanfataan lahan.

Tujuan ada moratorium, katanya,  untuk melembagakan one map dan melembagakan sistem tata kelola baru pemberian izin yang memiliki cek and control, transparansi dan lain-lain. Jadi, moratorium ini sebenarnya memberi ruang kepada pemerintah untuk membenahi.

Sebelum moratorium, 15 lembaga yang memberi izin menggunakan peta berbeda-beda. Yang terjadi, tumpang tindih izin lahan dan menyebabkan konflik agraria dan SDA berdarah-darah. “Coba bayangkan ada 15 lembaga berikan izin dengan peta berbeda. Siapa yang produksi konflik? Pemerintah. Jadi pemerintah harus sadar, karena pemerintah yang timbulkan ini. Pemerintah sekarang kebagian apeslah untuk benahi masalah itu.”

Apakah moratorium menghambat pertumbuhan sawit dan tambang? “Saya berani katakan tidak. Sebab, banyak izin tambang bahkan terlalu banya izin tambang beroperasi. Apa iya semua harus dieksploitasi sekarang juga? Hingga ada moratorium ini jadi alasan penghambat?”

Bukan itu saja. Masih ada sekitar 4 juta hektar lahan ‘nganggur’ sawit yang belum ditanami. “Kalau lahan itu ditanam secepat-cepatnya, 10 tahun lagi juga belum selesai. Lalu apa alasan bilang pertumbuhan sawit terhambat moratorium. Ditambah beberapa tahun pun tak akan terhambat.”

Bahkan, jika produktivitas dan efesiensi kebun sawit saat ini ditingkatkan, dapat meningkatkan produksi dengan signifikan. Yang jelas, katanya, dengan moratorium ini pertumbuhan pemilikan lahan oleh perusahaan skala besar menurun. “Dengan moratorium diharapkan perusahaan besar tak akan bebas akumulasi lahan sesukanya,” ujar dia.

Mubarik mengatakan, dia tak anti sawit karena memang terbukti memberikan beberapa dampak positif seperti memberi lapangan kerja dan pendapatan bagi negara.  Namun, yang tak diinginkan itu operasi kebun sawit tak terkendali. “Berapa banyak lahan tidur sawit, berapa harga sawit sekarang? Apakah benar, kebun sawit masih perlu mencari lahan-lahan baru?” Dia menduga kuat, kepentingan perusahaan itu mengumpulkan lahan sebanyak-banyaknya (land banking).

Ungkapan tak jauh beda datang dari Jefri Gideon Saragih, Direktur Eksekutif Sawit Watch. Dia meminta, moratorium diperpanjang. Moratorium akan memberi waktu bagi pemerintah untuk menyusun satu peta. Moratorium,  juga berdampak pada penurunan jumlah konflik lahan dan kriminalisasi massa karena izin-izin sementara dihentikan. “Kalau konflik lahan pasti rakyat yang ditangkap. Ga pernah ada cerita dari perusahaan yang ditangkap.” Padahal, ekspansi sawit banyak merampas wilayah kelola masyarakat.

Jika perusahaan menyatakan moratorium menghambat usaha perkebunan, Jefri menyuguhkan data kebun sawit di Indonesia, yang begitu luas. Lahan sawit versi pemerintah seluas 9,4 juta hektar, data Sawit Watch 12 juta hektar lebih dengan produksi 25,2 juta ton minyak mentah (crude palm oil/CPO). “Dari luas lahan ini, apa iya perlu ekspansi lagi? Atau yang ada saja dioptimalkan?”

Selama ini, petani mandiri dijadikan kambing hitam produktivitas rendah, tetapi tak sepenuhnya benar.  Jumlah kebun sawit dikelola petani mandiri 42 persen. Rata-rata petani mandiri produktivitas 14-16 ton tandan buah segar (tbs) per hektar per tahun.  “Tapi jangan dipikir perusahaan yang segede gajah (produktivitas) tinggi. Mereka hanya 26-28 ton tbs per hektar per tahun. Sedang Malaysia 34 -36 ton tbs.”

Dengan moratorium, Jefri berharap, pemerintah bisa membentuk badan, yang mulai menghitung kebun sawit  hektar per hektar. “Hitung perusahaan sawit mana yang betul-betul kelola sawitnya. Jangan main kasih izin saja.”

Jefri juga mematahkan anggapan moratorium mengurangi lowongan kerja di sektor perkebunan sawit. Dia menjelaskan, ideal di satu hektar lahan ada sekitar 0,4 pekerja atau dua hektar, satu pekerja. Realitas di lapangan,  satu orang kerja di empat hektar. “Rata-rata sistem borong. Kalau ga sanggup kerja di empat hektar ya ga digaji. Sistem jam juga gitu. Dari 45 juta buruh, 45-36 persen itu buruh harian lepas.” Jadi, sudah seharusnya perusahaan memikirkan, para buruh harian lepas itu diangkat menjadi pekerja tetap.

Heru Prasetyo, Deputi I UKP4 bidang Pengawasan dan Pengendalian Inisiatif Perubahan Iklim dan Pembangunan Berkelanjutan, juga berpendapat senada. Dia mendukung penuh apa yang diungkapkan Mubariq Ahmad. UKP4 maupun Satgas REDD, merekomendasikan perpanjangan moratorium.  “Wacana penambahan tak hanya dari Satgas REDD+ tapi juga Menteri Kehutanan.  Jadi posisi pemerintah cenderung menuju perpanjangan moratorium,” katanya.

Moratorium diperlukan, kata Heru, untuk memperbaiki tata kelola hutan dan lahan. Mengapa tak langsung ke lembaga REDD+ saja?  Menurut dia, tak mungkin langsung bikin REDD+, karena banyak yang amburadul, dari peraturan,  tumpang tindih, dampak otonomi daerah dan lain-lain.

Salah satu langkah one map lewat peta indikatif penundaan pemberian izin baru (PIPIB), yang direvisi tiap enam bulan sekali. Peta yang dipakai dari Kementerian Kehutanan (Kemenhut).  “Peta harus dibenahi. Ini problem. Ada hutan tapi belum masuk kawasan hutan.” Namun, dari revisi PIPIB itu juga menyebabkan kawasan yang dilindungi berkurang.

“Mengapa? Karena peta Kehutahan yang terbaik ternyata tidak baik.”  Pada revisi pertama,  masuk izin Kementerian Pertanian, berkurang 4,5 juta hektar. Revisi kedua, ada masuk lagi dari BPN ternyata di kawasan hutan sudah ada hak guna usaha (HGU).  “Kehutanan tak tahu. Revisi lagi.”

Pada revisi ke II, menurut Satgas REDD+ ada penambahan 400 ribu hektar. Ternyata, ada HGU di hutan lindung yang dikeluarkan BPN. “Harusnya BPN batalkan HGU. Akhirnya ditambah dong lahan. Namun, BPN dan Kemenhut mau minta waktu penyelesaian lahan hingga dikeluarkan dari peta dan kawasan yang dilindungi dalam PIPIB II bekurang.”

Di PIPIB revisi III juga masih terjadi pelepasan kawasan lindung dan konservasi. Contoh, ada lebih dari 390 an ribu hektar kawasan lindung dan konservasi di Papua, menjadi hutan produksi. “Kalo ada dalam lindung dan konservasi biasa udah terlanjur kasih izin.  Kita banyak bikin kesalahan sih,” kata Heru.

Mubarik menambahkan, BPN juga perlu disoroti karena memberikan HGU seenaknya di kawasan hutan terutama di hutan konservasi dan hutan lindung.  “Tak hanya satu kasus. Yang norak di Riau, BPN Indragiri Hilir, beri izin kebun sawit di Taman Nasional Tesso Nilo. BPN dituntut secara hukum oleh Kemenhut di Pengadilan. Kemenhut kalah. Hebat sekali negeri ini. Ini contoh situasi politik yang ada di negeri ini.”

Untuk itu, kata Heru, satu peta ini, yang coba dibangun untuk membenahi tata kelola hutan negeri ini. “Agar kita ingin punya data base yang terintegrasi.”

Mari menanti perpanjanghan moratorium. Namun, aturan moratorium ini hanya berupa Inpres, yang akan hilang masa berlaku kala masa Presiden pembuat sudah berakhir. Jadi, bagaimana setelah 2014?


Sumber: HuMa

Sumber: Sawit Watch

[mongabay indonesia]
Share on Google Plus

About Unknown

Petualang muda yang suka apa saja kecuali belajar berhitung, jatuh cinta dunia Petualangan dan Alam Indonesia. Juga seorang pengagum pohon Bambu dan bunga Dandelion.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar: