(Tulisan ini sebelumnya dimuat oleh Buletin Elektronik SADAR Edisi 406 Tahun VIII 2012, diterbitkan kembali untuk kepentingan pendidikan)
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam sebuah pidato tepatnya tanggal 10 September 2009, memperkenalkan sebuah istilah “debottlenecking” yang diartikannya percepatan pembangunan dan perluasan investasi segera dilakukan dengan memangkas semua jenis penghalang, termasuk produk undang-undang dan turunannya untuk mencapai kemajuan tahun 2025. Pidato itu sekaligus menjadi perintah yang perlu dimutakhirkan dalam rumusan baku.
Melalui berbagai pertemuan yang dihadiri lebih dari 600 peserta yang terdiri dari pengusaha, pemerintah serta akademisi, ditetapkanlah 8 program dan 22 kegiatan ekonomi dan 8 koridor ekonomi sebagai pusat pertumbuhan. Rumusan ini dilegalkan melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 32 tahun 2011 tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025.
Untuk mengawal skema ini pemerintah membentuk Komite Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (KP3EI) 2011-2025 adalah sebuah lembaga yang dibentuk Presiden Republik Indonesia pada 20 Mei 2011 yang bertugas melakukan koordinasi pelaksanaan MP3EI.
MP3EI, Konsep Baru Kebebasan Pasar
Secara umum MP3EI dititikberatkan pada dua kata kunci: Pertama, perluasan yakni penyediaan lahan dan sarana infrastruktur bagi terbuka lebarnya minat investor; Kedua, percepatan melalui perbaikan iklim investasi berupa deregulasi beberapa perundang-undangan dan kurang lebih 40 produk regulasi daerah (Perda) yang dianggap menghambat proses investasi. Sebaliknya, para investor difasilitasi insentif, berupa pembebasan pajak pra produksi, tax holiday, dan jaminan keamanan investasi.
Dua perihal di atas memberikan batasan yang tegas, bahwa konsepsi ini merupakan pengejawantahan dari paham kapitalisme laissez-faire wajah baru atau sering disebut neoliberal, yang menjauhkan peran negara dalam soal-soal ekonomi politik. Sebaliknya, negara hanya menjadi fasilitator dan katalisator terhadap kepentingan privat atau swasta.
Dari penegasan di atas menunjukkan dengan jelas pertumbuhan melekat pada peran investasi, atau kasarnya negara memainkan peran terlaksananya pasar bebas untuk menjamin ruang yang lebih luas bagi aktualisasi “yang makmur semakin sejahtera.” Peran kapitalis sebagai pemilik modal menjadi leluasa memilih kawasan potensial investasi dan dimudahkan dari sarana infrastruktur yang dibangun dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) diberikan secara “cuma-cuma” sebagai bagian dari komitmen MP3EI.
Meskipun banyak varian pemikiran, pada dasarnya keseluruhan sependapat bahwa kata kunci yang dipakai dalam MP3EI adalah proses pembentukan modal. Sebuah akselerasi pertumbuhan ekonomi dengan mengundang dan memfasilitasi modal asing swasta terjun bebas yang diharapkan dapat melakukan industrialisasi secara bertahap melalui alih tekhnologi.
Liberalisasi Mineral dan Migas: Pengalaman Sulawesi Tengah
Dalam peta rencana kerja MP3EI, Sulawesi Tengah berada dalam koridor 6 yang ditetapkan sebagai pusat produksi dan pengolahan hasil pertanian, perkebunan, dan perikanan, serta pertambangan nikel dan migas nasional. Tiga Kabupaten yakni Morowali, Banggai dan Tojo Una-Una menjadi hostpot target perluasan ekonomi nikel dan migas.
Salah satu agenda investasi sedang berjalan yang dimasukkan sebagai bagian dari rencana kerja MP3EI adalah proyek konstruksi Donggi Senoro LNG, sebuah pembangunan transmisi LNG yang dicanangkan beroperasi pada tahun 2014-2025. Struktur kepemilikan saham DSLNG terdiri dari PT Pertamina Hulu Energi (29,0%), PT Medco LNG Indonesia (11,1%), dan Sulawesi Development LTD (59,9%) merupakan partisipasi dari Korea Gas (25%) dan Mitsubishi Corporation (75%).
Proyek Donggi Senoro adalah pengembangan gas alam cair di Indonesia yang menggunakan skema hilir (downstream) yang memisahkan pembangunan hulu (produksi dan suplai gas alam) dan hilir (pengolahan LNG). Kilang LNG ini akan mengolah gas yang disuplai dari Blok Senoro yang dikelola oleh JOB Pertamina Medco Tomori Sulawesi (PMTS) dan Blok Matindok yang dikelola Pertamina Pengembangan Gas Matindok (PPGM).
Kontraktor utama pembangunan kilang LNG ini adalah JGC Consortium (JGCC) sebuah perusahaan dari Jepang. Dalam pembangunannya JGCC bekerja sama dengan 14 subkontraktor, termasuk subkontraktor lokal. Proyek instalasi gas ini akan menghasilkan 2 juta ton gas alam (mtpa) yang akan dijual pada Jepang (Chubu Electric 1.0 mtpa, Kyushu Electric 0.3 mtpa) dan Korea (KOGAS, 0.7 mtpa). Maka tidak heran kalau di Sulteng orang menyebut proyek ini dari “Jepang ke Jepang.”
Setelah MP3EI ditetapkan secara legal, Kementerian ESDM mencatat dalam tiga tahun terakhir, telah terjadi peningkatan ekspor bijih mineral secara besar-besaran, seperti ekspor bijih nikel meningkat sebesar 800 persen, bijih besi meningkat 700 persen dan bijih bauksit meningkat 500 persen. Jumlah izin usaha pertambangan mencapai 10.566 izin. Dari total izin itu, sebanyak 5.940 izin di antaranya bermasalah, yang terdiri atas 3.988 izin usaha pertambangan operasi dan produksi mineral serta 1.952 IUP operasi dan produksi batubara. Dari sekian ribu perusahaan itu, hanya kurang lebih 36 perusahaan yang mengantongi izin ekspor.
Sementara itu di Sulawesi Tengah hanya dalam waktu 10 tahun terakhir 365 Izin Usaha Pertambangan, 2 Kontrak Karya dan 2 Kontrak Migas telah diterbitkan. Dari keseluruhan izin itu menguasai lahan kurang lebih 2,5 juta hektar di atas provinsi yang dihuni lebih dari 432.070 jiwa penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan.
Jumlah penguasaan ruang yang besar itu, akan terus bertambah dan meluas berdasarkan agenda MP3EI yang menargetkan penetapan Wilayah Pertambangan (WP) 40 buah per tahun. Sebab 50 persen cadangan nikel Inonesia itu berada di Pulau Sulawesi, meski hanya menyumbang 7 persen PDRB setiap tahunnya, dari angka pembesaran investasi yang funtastik itu.
Di tengah besarnya jumlah populasi itu, perluasan investasi tersebut berdaya ekstraktif multi sektor. Terdapat 14 perusahaan HPH yang aktif dengan areal kelola seluas 1.011.445 Hektar dan 11 unit perusahaan yang beroperasi aktif dengan areal kelola seluas 844.835 Hektar. Sementara terdapat juga 15 perusahaan perkebunan yang mengantongi Hak Guna Usaha dengan total luas areal kelola 93.135 hektar serta IPK dan IPK-TM seluas 4.035,39 hektar.
Sejak praktek perluasan ekonomi ekstraktif terutama investasi tambang berlangsung, deretan konflik berbasis multi dimensi, etno religius, sengketa agraria, dan lebih dari 10 kasus serangan berdarah dan mematikan terjadi di atas pulau ini. Belum lagi aksi pemenjeraan secara besar-besaran petani yang menolak tanahnya dijadikan kawasan industri ekstraktif.
Dengan demikian, MP3EI, adalah retorika kapitalis yang terus berlangsung di tengah ketidakmampuan negara berdaulat melakukan renegosiasi dan divestasi saham pada tambang Freeport, Chevron, Vale Indonesia yang belakangan gaungnya membesar. Justru perebutan akses sumber daya alam seiring-seimbang dengan laju privatisasi BUMN serta mengecilnya akses BUMD.
* Penulis adalah Manager Riset dan Kampanye - Jatam Sulteng, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Sulawesi Tengah.
** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).
0 komentar:
Post a Comment