Pulau Bangka. Foto: Yuris Triawan |
Pulau bangka kaya kandungan bijih besi, namun ekosistem perairan dan biota lautnya lebih kaya, pemerintah ingin menjual yang mana? Sementara sebagian besar masyarakatnya berprofesi sebagai nelayan menggantungkan hidup dari hasil lautnya.
Mendengar nama Pulau Bangka, mungkin kita sejenak terpikir sebuah pulau yang ada di gugusan kepulauan di Selat Malaka sana. Namun pulau Bangka yang dimaksud disini adalah sebuah pulau yang termasuk dalam gugusan kepulauan di pesisir utara pantai Likupang, dalam wilayah administrasi kecamatan Likupang, Kabupaten Minahasa Utara, Provinsi Sulawesi Utara.
Mengenai Sulawesi Utara tentunya lazim kita ketahui tentang Taman Nasional Bunaken dan Selat Lembeh yang terkenal ke seantero dunia dari segi pariwisata terutama keindahan taman bawah lautnya. Apalagi di dua kawasan ini sering kali digelar event internasional diantaranya World Ocean Confrence (WOC) atau Konferensi Kelautan Dunia dan Sail Bunaken hingga Coral Triangle Initiative (CTI) Summits atau Pertemuan Negara-negara Setitiga Terumbu Karang. Ketika itu Indonesia kembali mengukir sejarah dalam kelalutan, kedua event tersebut yang digelar di Manado Sulawesi Utara, 11 – 15 Mei 2009, berhasil mencetuskan “ Manado Ocean Decralation".
Seiring dengan adanya event-event tersebut sudah barang tentu juga turut mengangkat potensi-potensi yang terkandung dari gugusan pulau-pulau yang ada dan berdekatan dengan kedua kawasan ini. Pulau Bangka tepatnya berada diantara dua kawasan konservasi tersebut.
Pesona surga bawah laut di kawasan ini tidak jauh berbeda dengan Bunaken dan Lembeh. Untuk itulah rencana pembangunan provinsi Sulawesi Utara juga pernah memasukkan pulau ini dalam zona pengembangan wisata bahari.
Nama pulau Bangka mulai mencuat dan dikenal sejak tahun 2011 lalu seiring munculnya rencana eksplorasi tambang bijih besi di pulau tersebut.
Masuknya PT MMP (Mikgro Metal Perdana) di Bangka.
Peta Pulau Bangka dan Sluawesi Utara. Klik untuk meperbesar. |
Kekayaan kandungan bijih besi yang terdapat di pulau ini kemudian menarik minat pemodal asing untuk berinvestasi, dengan masuknya PT Mikgro Metal Perdana (MMP) sebuah anak perusahaan tambang multinasional asal China untuk mengeruk kekayaan alam pulau bangka.
Namun sayangnya, Pulau Bangka hanya memiliki luas 4800 hektar dan dikategorikan sebagai pulau kecil di bawah hukum Indonesia. Berdasarkan UU No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, ditetapkan larangan aktivitas pertambangan atas pulau kecil (di bawah 5000 Ha) dan kesatuan ekosistem sekitarnya.
Di pulau Bangka terdapat empat desa yang mayoritas penduduknya menggantungkan hidup dari hasil laut sebagai nelayan, disamping hasil pertanian. Keempat desa tersebut yakni Lihunu, Kahuku, Libas dan Ehe, di pulau ini juga terdapat empat resort menyelam yang sebagian besar pekerjanya adalah warga lokal.
Belum lagi di pulau ini hanya terdapat 2 Sekolah Dasar (SD) yang berada di desa Kahuku dan Lihunu, serta sebuah Sekolah Menengah Pertama (SMP) Kahuku. Untuk melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas (SMA) pelajar dari pulau ini harus melanjutkan pendidikanya di Likupang ataupun SMA terdekat, yang jelas tak ada di pulau ini.
Hutan Bakau di Desa Kahuku Pulau Bangka. Foto: Yuris Triawan |
Dalam rencana ekplorasi tambang bijih besi tersebut, terdapat 2 desa yang nantinya akan direlokasi yakni Ehe dan Kahuku, yang dihuni sekitar 250 kepala keluarga. Di pulau ini juga terdapat kawasan hutan bakau yang tersebar di 4 titik dengan luas total sekitar 800 hektar, sebaran paling luas adalah wilayah bakau desa Kahuku.
Disamping itu ganti rugi lahan milik warga yang masuk dalam rencana tambang oleh pihak perusahaan, terbilang sangat murah dengan keterangan harga berfariasi antara Rp.25.000,- per meter (menurut keterangan aparat desa) hingga Rp.9.000,- per meter (menurut keterangan warga pemilik tanah).
Nasib Warga Pulau Bangka terjepit diantara ancaman tambang dan intimidasi aparat.
Merah Putih berkibar diatas perahu nelayan. Foto: Yuris Triawan |
Pemerintah setempat bukannya menegakkan UU dengan menjaga kelestarian wilayah pulau kecil ini malah mendukung rencana eksplorasi PT MMP tersebut. Diperparah lagi dengan keluarnya SK bupati Minahasa Utara yang memberi izin kepada PT MMP untuk melakukan kegiatannya di Pulau Bangka.
Masyarakat setempat dan para aktivis lingkungan bukannya tidak berbuat apa-apa untuk menyelamatkan pulau Bangka dari ancaman tambang, buktinya warga pulau Bangka memenangkan gugatan atas SK Bupati Minhasa Utara dengan tergugat utama SK bupati, tergugat intervensi PT MMP, di PTUN Makassar. Sementara itu gugatan Walhi Sulut dengan tergugat yang sama sudah dalam tahap pengajuan banding ke PTUN Makassar.
Pesona pantai di desa Kahuku, Pulau Bangka. Foto: Yuris Triawan |
Disamping itu warga di bantu aktivis yang tegabung dalam "Save Bangka Island" dengan gencar melakukan kampanye dan sosialisasi mengenai penyelamatan pulau Bangka dan kawasan sekitarnya dari ancaman dampak tambang. Walhi Sulut, KMPA Tunas Hijau, LMND Sulut, Change.org, Greenpeace hingga Slank juga gencar melakukan kampanye bersama baik langsung maupun melalui media jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter. Tiga nama awal adalah organisasi yang selama ini bersama warga pulau Bangka berupaya menolak beroperasinya PT MMP di pulau Bangka.
Demo Save Bangka, warga gelar doa di Tugu Boboca Manado. Foto: mongabay |
Aksi-aksi penolakan yang sudah seringkali mereka gelar, diantaranya unjuk rasa di kantor bupati Minahasa Utara hingga doa bersama di Tugu Boboca Manado. Pemerintah bukannya peduli dan malu, malah terkesan lepas tangan atas perjuangan warganya untuk menyelamatkan tanahnya agar tidak dikeruk modal asing.
Akhadi Wira Satriaji atau lebih dikenal dengan nama Kaka Slank mengajukan petisinya yang berjudul "Tolak tambang di pulau kecil. Selamatkan Pulau Bangka – Sulut!" di situs www.change.org/SaveBangkaIsland, sebuah situs yang menjadi wadah petisi dari seluruh dunia dengan misi-misi sosial.
Kaka Slank foto bersama anak-anak di pulau Talise, dalam rangkaian kampanye Save Bangka. |
Petisi tersebut ditujukan kepada empat nama pejabat yang dianggap paling bertanggung jawab terkait masalah tambang di pulau Bangka, diantaranya Bupati Minahasa Utara Sompie Singal, Gubernur Sulawesi Utara Sinyo Harry Sarundajang, Menteri ESDM Jero Wacik serta Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono.
Akan tetapi berbagai upaya tersebut tidak mampu mencegah beberapa pejabat pemerintah Minahasa Utara dengan memanfaatkan kantor mereka untuk mengeruk keuntungan pribadi dan menjual pulau kecil ini kepada perusahaan tambang.
Aparat kepolisian bersenjata laras panjang mengawal pihak PT. MMP saat melakukan pengukuran lahan di Pulau Bangka, Rabu (25/9). Foto: JW/Yuris Triawan |
Mereka seolah tidak peduli dengan upaya Sulawesi Utara mempromosikan diri sebagai daerah tujuan wisata dan tempat penyelaman terbaik dunia yang tidak ditemukan di tempat lain. Bahkan terkesan tidak ambil pusing bahwa kekayaan alam baik di darat maupun di dalam laut di pulau Bangka serta orang-orang yang menetap dan hidup selama berabad-abad, akan dikorbankan.
Lebih miris lagi mengetahui bahwa ada warga yang dikriminalisasi bahkan aktivis yang diintimidasi aparat.
Sekarang Pulau Bangka, nantinya pulau-pulau lain menyusul. Tetap berjuang "sendiri" pulau kaya mineral.
--------------------------------
Teks & Foto : Yuris Triawan
Pesona Pula Bangka :
Sunset di dermaga Mimpi Indah, Pulau Bangka. |
'Tiang-tiang Batu' __ Bangka Island, North Sulawesi, IND. Foto: Yuris Triawan |
Eku Wand, seorang WNA saat menikmati pesona pantai pula Bangka. |
0 komentar:
Post a Comment