Kebakaran hutan dan lahan, asap, sampai kekeringan, menjadi fenomena tahunan kala musim kemarau di Indonesia. Saat hujan, bencana pun berganti dari banjir, sampai tanah longsor. Ribuan warga kehilangan tempat tinggal. Korban berjatuhan.
Hari Bumi yang jatuh tiap 22 April pun menjadi ‘Hari Kesedihan’ jika membayangkan nasib alam saat ini. Kualitas lingkungan hidup makin memburuk. Alam makin kritis. Selama 150 tahun, karbon di atmosfer meningkat 50 persen dari 280 ppm menjadi 393 ppm. Keadaan ini berdampak pada peningkatan suhu global, kehancuran glasier dan lapisan es, perluasan gurun dan berbagai peristiwa cuaca ekstrim.
Apa penyebabnya? Banyak. Para penyumbang masalah itu antara lain perusakan hutan dan eksploitasi bumi untuk bahan bakar fosil, pencemaran air-tanah-udara akibat limbah. Di negeri ini, tak sulit mencari lubang-lubang galian tambang puluhan sampai ratusan hektar di tengah hutan atau kebun-kebun sawit dibuka dengan membabat hutan. Limbahnya pun mengalir jauh, merusak sungai, laut dan membahayakan manusia.
Di Jakarta, memperingati Hari Bumi, aksi gabungan mendatangi PT Freeport. “PT. Freeport sebagai simbol kapital paling besar dan paling merusak dari semua kekuatan korporasi di bumi Indonesia. Freeport sekaligus wujud kooptasi korporasi paling nyata terhadap pemerintah bahkan negara,” dalam pernyataan tertulis berbagai organisasi yang aksi bersama ini. Mereka ini antara lain dari Jatam, National Papua Solidarity (Napas), Jaringan Perempuan Mahardhika, Walhi Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI), dan Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRuHA).
A Haris Balubun, Pengkampanye Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mengatakan, kontrak Freeport diperpanjang 30 tahun sejak tahun 1991, dan hendak diperpanjang lagi hingga 2041. Perusahaan ini terdaftar sebagai salah satu perusahaan multinasional terburuk tahun 1996. Ia potret nyata sektor pertambangan Indonesia. Keuntungan ekonomi yang dibayangkan tidak seperti dijanjikan. Sebaliknya, kondisi lingkungan dan masyarakat sekitar pertambangan terus memburuk.
Protes-protes muncul karena berbagai pelanggaran hukum dan HAM dampak lingkungan serta pemiskinan masyarakat. “Emas dan tembaga Freeport tidak ada hubungan dengan peningkatan kesejahteraan rakyat Papua.” Papua tetap provinsi termiskin di Indonesia, dengan risiko penyakit dan kematian tertinggi, dan kekerasan oleh tentara terbanyak di seluruh wilayah Indonesia.
Haris mengatakan, setiap hari operasi penambangan Freeport membuang 230 ribu ton limbah batu ke Sungai Aghawagon dan sungai-sungai sekitar. Pengeringan batuan asam atau pembuangan air yang mengandung asam sebanyak 360 ribu– 510 ribu ton per hari. Ini telah merusak dua lembah yang meliputi empat mil (6,5 Km) hingga kedalaman 300 meter. Cadangan grasberg sebegitu besar hingga eksplorasi akan menghasilkan 6 miliar ton limbah industri.
Masih ada PT. Newmont, yang mengusir masyarakat Buyat, dan PT. Lapindo Brantas, sudah tujuh tahun melumpuhkan ekonomi, sosial dan budaya rakyat Sidoarjo, Jawa Timur (Jatim). “Kedua korporasi ini contoh bagaimana hukum dapat dipermainkan. Pemerintah sebagai pelaksana kebijakan justru membiarkan dan berpihak kepada mereka.”
Tak heran dalam catatan akhir tahun Walhi, pada 2012, aktor perusak lingkungan hidup tertinggi perusahaan terutama sektor tambang dan perkebunan, disusul pemerintah. Ketiga perusak terbesar, kombinasi perusahaan dan pemerintah, baru di posisi buntut: masyarakat.
Pemerintah mengeluarkan izin konsesi pertambangan, perkebunan, dan pengusahaan hutan makin gila-gilaan sejak otonomi daerah. Hingga 2013, tercatat 2.686 izin usaha pertambangan membabat jutaan hektar pohon dan mengeruk jutaan ton tanah untuk ekstraksi bahan galian.
Per Juli 2012, pemberian izin perambahan hutan sebesar 30 juta hektar, Kementerian Kehutanan juga memproses pelepasan kawasan hutan mencapai 12 juta hektar di 22 provinsi. Ia menjadi sasaran ekspansi perekubanan sawit dan tambang antara lain di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua.
Lalu, luas pelepasan kawasan hutan yang diajukan 22 gubernur lewat dalih penyesuaian tata ruang ini sama persis dengan luasan alih fungsi kawasan hutan 12.357.071 hektar. “Ini menunjukkan pengeluaran keputusan itu tidak berdasarkan pertimbangan dampak penting dan daya dukung lingkungan. Hanya permainan angka tabulasi oleh kelompok tertentu dalam Kementerian Kehutanan atau bersama DPR, ketika merumuskan rekomendasi keputusan pelepasan,” kata Abetnego Tarigan, Direktur Eksekutif Walhi Nasional.
Dalam analisis Walhi itu menyebutkan, pelepasan kawasan hutan besar-besaran terjadi di Riau, Kalimantan Tengah, Maluku dan beberapa provinsi lain. Fakta ini disamarkan dengan penunjukan kawasan hutan di Papua mencapai 6 juta hektar. Jadi, tak berlebihan bila muncul kecurigaan jika kewajiban penataan ruang ditunggangi pengusaha perkebunan dan pertambangan.
Kemenhut juga melepaskan kawasan hutan untuk perkebunan hingga 5 juta hektar sampai Juni 2012 dan proses izin prinsip perkebunan pada kawasan hutan produksi konversi(HPK) 1 juta hektar. Serta izin pinjam pakai untuk pertambangan mencapai 3 juta hektar baik izin eksplorasi, prinsip dan produksi.
Bila dicermati pemberian izin pengelolaan hutan, pelepasan dan pinjam pakai, sampai Juni 2012, pemerintah Indonesia mengalokasikan peruntukan kawasan hutan kepada pengusaha hingga 50,4 juta hektar atau 38.4 persen dari luas hutan negeri ini.
Perut bumi negeri ini dikeruk untuk kepentingan akumulasi modal dan keuntungan, hasilnya diangkut ke luar negeri. Rakyat pun mewarisi berbagai masalah yang ditimbulkan, racun tambang berton-ton, di darat, laut maupun udara. Wilayah hidup mereka terampas. Konflik pun terjadi di mana-mana.
Ditambah lagi, mega proyek MP3EI digadang-gadang pemerintah sebagai jualan seksi kepada investor. Kajian Lingkungan Hidup Strategis hanya akan menjadi green washing karena nyata koridor-koridor MP3EI ini akan menghancurkan ruang hidup dan merampas tanah rakyat.
Pemantauan Walhi hingga Desember 2012, konflik sumber daya alam (SDA) dan perkebunan di Indonesia mencapai 613 konflik tersebar di 29 provinsi Indonesia. Walhi menerima pengaduan dan advokasi 149 kasus yang terdiri dari kasus perkebunan sawit 51 kasus, tambang 31 kasus, kehutanan 33 kasus, agraria 14 kasus dan pencemaran 15 kasus.
Dari semua kasus ini, tercatat 188 warga ditahan, 102 mengalami kekerasan dan 12 orang meninggal. “Saat ini, Direktur Walhi Sumsel Anwar Sadat, serta staf Dedek Chaniago menjalani proses hukum karena berupaya memperjuangkan hak petani yang dirampas oleh PTPN VII Cinta Manis,” kata Irhash Ahmady, dari Eksekutif Nasional Walhi.
Tak jauh beda dengan data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). Sampai 2012, terjadi 618 konflik agraria di seluruh Indonesia, meliputi areal 2.399.314,49 hektar, dialami oleh 731.342 keluarga. Pada 2012 saja, tak kurang dari 200 aksi protes rakyat terhadap kegiatan pertambangan di seluruh Indonesia. Tindakan kekerasan aparat negara terhadap petani dan masyarakat adat mengakibatkan 941 orang ditahan, 396 mengalami luka-luka, 63 orang luka tembak, 44 orang meninggal.
Perlawanan rakyat mempertahankan ruang hidup ini, kata Irhash, berusaha dibungkam oleh regulasi yang memperkuat represifitas negara kepada rakyat hanya untuk menjaga kepetingan kapitalis monopoli di dalam negeri. Bagaimana nasib bumi negeri ini jika terus berlanjut?
Sumber : Mongabay Indonesia
Oleh Sapariah Saturi, April 22, 2013
0 komentar:
Post a Comment