Oleh : Muh. Abdi Goncing
I. PENDAHULUAN
A. Pengantar
Masyarakat Adat Ammatoa Kajang merupakan sebuah komunitas masyarakat etnis di Sulawesi Selatan yang terdapat di daerah kabupaten Bulukumba. Masyarakat ini, dalam kehidupannya masih sangat memegang kuat tradisi dan pola hidup yang senantiasa harmonis dengan alam. Bahkan uniknya lagi, komunitas masyarakat ini tak mau menerima tekhnologi yang ada sekarang karena bagi mereka tekhnologi yang ada ssat ini dapat merusak kehidupan yang senantiasa harmonis dengan alam.
Kosmologi Suku Kajang di Kawasan Adat Ammatoa. |
Saking tak maunya menerima tekhnologi baru, dalam wilayah komunitas masyarakat ini, tak ada yang namanya listrik. Bahkan jika kemana-mana pun mereka tak pernah menggunakan alas kaki dan mereka juga senantiasa menggunakan pakaian yang berwarna hitam. Jika ada orang luar yang ingin masuk kedalam wilayah mereka, orang luar tersebut harus mematuhi aturan adat yang berlaku disana dan tentunya juga harus menggunakan pakaian yang berwarna hitam.
Nilai-nilai yang mereka anut, meski kelihatan primitif (dalam kacamata peneliti barat yang pernah ke tempat ini), namun hal tersebut tidaklah demikian. Sebab mereka pun mengenal tekhnologi yang meski masih sangat sederhana. Selain itu, masyarakat ini juga, dalam menjalankan kehidupan kesehariaanya senantiasa berpegang teguh terhadap apa yang didapatkan dari alam tempat mereka hidup.
Hal inilah yang mendorong penulis untuk sedikit membahas pola kehidupan masyarakat adat ini, yang dalam kajian kosmologi Nusantara merupakan sesuatu yang sangat penting untuk dikaji secara mendalam dan diketahui oleh setiap orang. Sebab ciri khas masyarakat ini dalam pola kehidupannya, senantiasa hidup harmonis dengan alam itu sendiri. Pola tersebut salah satunya dapat dilihat dari model bangunan rumah mereka dan tatacara mereka membangun sebuah rumah yang akan dibahas secara rinci selanjutnya.
Jika ditinjau dari aspek teoritisnya, pola hidup masyarakat ini sangat dekat dengan pola hidup yang mengutamakan ekologisnya sebagai pusat kehidupan mereka. Ekologi sendiri jika dilihat dari makna dasarnya adalah berasal dari kata Yunani, yakni oikos yang berarti ‘rumah, kediaman atau rumah tangga’. Kemudian pada perkembangannya, istilah ‘ekologi ini diartikan sebagai ilmu (logos) tentang oikos. Sehingga ekologi dapat diartikan sebagai ilmu tentang lingkungan hidup. Tetapi lepas dari manusia mesti ekologi tidak berarti banyak. Oleh karena itu, akhirnya ekologi berusaha melindungi dan melestarikan alam dunia manusia sebagai lingkungannya (Bakker, 1995: 34).
Sehingga jika dipadukan dengan pandangan kosmologi itu sendiri, dimana kosmologi mengandaikan uraian lengkap tentang filsafat mengenai manusia dengan struktur dan norma-normanya. Bahkan kosmologi sendiri merupakan perpanjangan dan perluasan filsafat manusia, sebab manusia dengan sendirinya tidak dapat dipandang lepas dari dunianya (Bakker, 1995: 5), dapat dikatakan sebagai bagian dari ekologi itu sendiri atau memiliki korelasi yang saling menguatkan satu sama lain. Sebagaimana menurut Siswanto (2005: 8) bahwa diantara ilmu-ilmu empiris yang paling dekat dengan kosmologi adalah ekologi.
Selain itu, menurut Bakker (1995: 6) kosmologi tidak bermaksud untuk menambah data-data dalam penelitian ekologis faktual secara langsung. Tetapi dalam uraian kosmologis diperoleh pemahaman yang lebih mendalam dan keyakinan yang lebih efektif mengenai pengurusan lingkungan, agar manusia dengan pertanggungjawaban lebih besar dapat melestarikan dan menyehatkan kembali ‘rumahnya’ sendiri. Argumentasi-argumentasi ekologis menyembunyikan banyak pengandaian yang lebih mendalam. Sehingga kosmologi sistematis berusaha menentukan prinsip-prinsip paling mendasar bagi pengurusan dan konservasi alam dunia manusia. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kosmologi dapat memberikan sumbanagn prinsipal bagi ekologi.
Kemudian, dalam kosmologi mayarakat Kajang ini, dalam pembahasan yang lebih lanjut, akan banyak ditemui hal-hal yang berupa kosmogoni yang memiliki kemiripan makna dengan kosmologi itu sendiri. Menurut Siswanto (2005: 2), kosmogoni adalah penjelasan atau keterangan tentang asal-usul alam semesta menurut mitos. Dimana ada dua jenis mitos kosmogonis menurutnya, yakni: pertama, mitos kosmogonis yang mengisahkan penciptaan alam semesta yang tidak bereksistensi dalam bentuk apapun, termasuk sebelum penciptaan. Kedua, mitos kosmogonis yang menuturkan penciptaan alam semesta dengan pra eksistensi bahan dasar dan membutuhkan pertolongan dari yang melakukan penciptaan.
Untuk itu, dirasa perlu untuk disampaikan pada awal atau pengantar makalah ini, bahwa sejatinya persoalan yang akan banyak dikaji dan dibahas dalam tulisan makalah ini, menyangkut beberapa persoalan hidup dan makna kehidupan secara kosmologis yang dipahami oleh masyarakat Ammatoa Kajang tersebut. Sehingga kekonsistenan dalam penulisan ini dapat tetap terjaga dan tentunya tetap mengarah pada makna-makna alam dan kehidupan bagi komunitas masyarakat tersebut.
Hal lain yang tentunya tidak bisa dilupakan dalam persoalan yang akan dibahas ini adalah apa yang dikatakan oleh Schlick (2001) sebagai tugas utama dari filsafat alam itu sendiri. Dimana menurutnya cara paling sederhana untuk menetapkan ciri paling hakiki dari filsafat alam (kosmologi) adalah dengan menunjukkan hubungannya dengan filsafat alam (Schlick, 2001: 1). Sehingga menurutnya lagi, tugas filsafat alam pertama-tama ditentukan sebagai sintesis pengetauan yang bertujuan untuk mencapai gambaran yang utuh atas keseluruhan proses alam dan sebagai pertahanan epistemologis bagi pendasaran ilmu alam. Tetapi, hal tersebut merupakan penentuan yang tidak memuaskan, karena tugas atau objek ilmu alam adalah untuk mencapai pengetahuan yang berkaitan dengan seluruh kejadian dan proses alam. Dengan kata lain, hal itu merupakan pernyataan dengan proposisi yang sangat umum, juga sebagai pengkajian atas kebenaran hipotesis (Schlick, 2001: 2). Sekalipun demikian, menurutnya lagi, tugas filsafat alam bukan hanya berkaitan dengan hipotesis ilmu alam, namun dalam arti yang lain. Pengetahuan alam dirumuskan dalam proposisi, juga semua hukum alam diungkapkan dalam bentuk proporsional. Namun pengetahuan mengenai maknanya merupakan prasyarat bagi pengujian kebenaran proposisi. Dua konsep ini tidak dapat dipisahkan, dan keduanya terjadi dalam ranah ilmu alam. Sehingga dengan demikian tugas dari filsafat alam (kosmologi) adalah untuk menafsirkan makna proposisi ilmu alam, dan dengan demikian filsafat alam itu sendiri bukan merupaakan ilmu, melainkan sebagai aktifitas yang diarahkan pada pertimbangan makna hukum alam (Schlick, 2001: 3).
B. Rumusan Masalah
Pada pengantar makalah ini yang telah dipaparkan sebelumnya, telah dijelaskan secara singkat mengenai beberapa persoalan yang terkait dengan pemahaman kosmologi secara umum dari masyarakat adat Ammatoa Kajang yang menjadi titik fokus kajian dalam makalah ini. Untuk itu, berdasarkan dari pemaparan tersebut, maka kemudian dapat dirumuskan beberapa rumusan masalah yang akan dibahas secara lebih lanjut dan mendalam dalam makalah ini, yakni:
Bagaimana kondisi dan gambaran komunitas masyarakat adat Ammatoa Kajang tersebut dalam kehidupan kesehariannya?
Bagaimana pandangan kosmologi yang dipegangi oleh masyarakat adat Ammatoa Kajang?
II. PEMBAHASAN
A. Deskripsi Masyarakat Ammatoa Kajang
Secara geografis, dan administratif masyarakat adat Ammatoa Kajang terbagi atas Kajang dalam dan Kajang luar. Masyarakat adat Kajang dalam tersebar di beberapa desa, antara lain desa Tana Toa, Bonto Baji, Malleleng, Pattinroang, Batu Nilamung, dan sebagian desa Tambangan. Kawasan masyarakat adat Kajang dalam secara keseluruhan berbatasan dengan Tuli di sebelah utara, dengan Limba di sebelah timur, dengan Seppa di sebelah selatan dan dengan Doro di sebelah barat. Sedangkan Kajang luar tersebar di hampir seluruh wilayah kecamatan Kajang dan beberapa desa di wilayah kecamatan Bulukumba, diantaranya di desa Jojolo, desa Tibona, desa Bino Minasa, dan desa Batu Lohe (Aziz, 2008: 3).
Namun, hanya masyarakat yang tinggal di kawasan Kajang dalam yang masih sepenuhnya berpegang teguh kepada ajaran dan adat Ammatoa. Mereka mempraktekkan cara hidup yang sangat sederhana dengan menolak segala sesuatu yang berbau tekhnologi. Bagi mereka, benda-benda teknologi dapat membawa dampak negatif bagi kehidupan mereka, karena bersifat merusak alam. Komunitas yang identik dengan selalu mengenakan pakaian hitam inilah yang kemudian disebut sebagai masyarakat adat Ammatoa (Widyasmoro, 2006: 8).
Selain itu, masyarakat ini juga mempraktekkan sebuah agama adat yang disebut sebagai ajaran patuntung. Istilah patuntung ini, sebagaimana diungkapkan oleh Rossler dalam Adhan (2005: 227), berasal dari kata tuntungi dalam bahasa Makassar, yang dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan sebagai ‘mencari sumber kebenaran’ (to inquiri into or investigate the truth). Ajaran patuntung ini mengajarkan bahwa jika manusia ingin mendapatkan sumber kebenaran tersebut, maka ia ahrus menyandarkan diri pada tiga pilar utama, yakni menghormati Turiek Arakna (tuhan), tanah yang diberikan oleh Turiek Arakna, dan nenek moyang.
Selain itu, menurut Adhan (2005: 270-271) bahwa kepercayaan dan penghormatan terhadap Turiek Arakna tersebut merupakan keyakinan yang paling mendasar dalam agama patuntung. Masyarakat adat Kajang percaya bahwa Turiek Arakna adalah pencipta segala sesuatu, Maha kekal, Maha perkasa, dan Maha kuasa. Turiek Arakna menurunkan perintahNya kepada masyarakat Kajang dalam bentuk pasang (sejenis wahyu dalam tradisi agama Abrahamik) melalui manusia pertama yang bernama Ammatoa. Secara harfiah, pasang berarti “pesan”. Namun, pesan yang dimaksud bukanlah sembarang pesan. Pasang adalah keseluruhan pengetahuan dan pengalaman tentang segala aspek dan lika-liku yang berkaitan dengan kehidupan yang dipesankan secara lisan oleh nenek moyang mereka dari generasi ke generasi. Pasang tersebut wajib ditatati, dipatuhi, dan dilaksanakan oleh masyarakat adat Ammatoa. Jika masyarakat melanggar pasang, maka akan terjadi hal-hal buruk yang tidak diinginkan. Hal ini disebutkan dalam sebuah pasang yang berbunyi “Punna suruki, bebbeki. Punna nilingkai pesokki” (Artinya: Kalau kita jongkok, gugur rambut, dan tidak tumbuh lagi. Kalu dilangkahi kita lumpuh).
Agar pesan-pesan yang diturunkanNya dapat dipatuhi oleh manusia, Turiek Arakna memerintahkan Ammatoa untuk menjaga, menyebarkan dan melestarikan pasang tersebut. Fungsi Ammatoa dalam masyarakat Kajang adalah sebagai mediator, yang memperantarai antara Turiek Arakna dengan manusia. Dari cerita rakyat yang berkembang dalam masyarakat Kajang, Ammatoa merupakan manusia pertama yang diturunkan oleh Turiek Arakna ke dunia. Masyarakat Kajang meyakini bahwa tempat pertama kali Ammatoa diturunkan ke bumi adalah kawasan yang sekarang menjadi tempat tinggal mereka (Adhan, 2005:273). Suku Kajang menyebut tanah tempat mereka tinggal saat ini sebagai ‘Tanatoa’ (tanah tertua), yang diwariskan oleh leluhur mereka. Mereka juga percaya bahwa konon di suatu hari dalam proses penciptaan manusia pertama di muka bumi, turunlah Tomanurung dari langit, turunnya Tomanurung tersebut mengikuti perintah dari Turiek Arakna atau yang Maha Berkehendak. Syahdan, Tomanurung turun ke bumi dengan menunggangi seekor burung Kajang yang menjadi cikal bakal manusia. Saat ini, keturunannya telah tersebar dan memenuhi permukaan bumi, namun diantara mereka ada satu kelompok yang sangat disayanginya, yakni masyarakat Kajang dari Tanatoa. Bagi masyarakat Kajang, kepercayan terhadap Tomanurung ini diterima sebagai sebuah realitas. Sehingga di tempat yang diyakini sebagai tempat Tomanurung mendarat didirikan sebuah desa yang disebut sebagai Tanatoa atau tanah tertua sebagai peringatan tempat pertama kali manusia ada. Oleh karena itu, mereka meyakini bahwa Tomanurung sebagai Ammatoa (pemimpin tertinggi masyarakat Kajang) yang pertama dan mengikuti segala ajaran yang dibawanya. Kini ajaran tersebut menjadi pedoman hidup mereka dalam menjalani kehidupan kesehariannya, dan nama burung Kajang kemudian digunakan sebagai nama dari komunitas mereka (Adhan, 2005: 274-275).
B. Kearifan Ekologis Sebagai Kosmologi masyarakat Kajang
Melalui pasang, masyarakat Ammatoa Kajang menghayati bahwa keberadaan mereka merupakan komponen dari suatu sistem yang terkait secara sistemik dengan Turiek Arakna, pasang Ammatoa (leluhur pertama), dan tanah yang telah diberikan oelh turiek arakna kepada leluhur mereka. Bagi masyarakat kajang, merawat hutan merupakan bagian dari ajaran pasang, karena hutan merupakan bagian dari tanah yang diberikan oleh turiwk arakna kepda leluur suku kjang. Mereka meyakini bahwa di dalam hutan terdapat kekuatan ghaib yang dapat mensejahterahkan dan sekaligus mendatangkan bencana ketika hutan tersebut tidak dijaga kelestariannya. Kekuatan tersebut menurut mereka berasal dari arwah leluhur masyarakat kajang yang senantiasa menjaga kelestarian hutan agar terbebas dari niat-niat jahat manusia (Aziz, 2008: 21). Jika ada ornag yang berani merusak kawasn hutan, misalnya menebang pohon dan membunuh hewan yang ada di dalamnya, maka arwah para leluhur tersbut akan menurunkan kutukan. Kutukan tersebut dapat berupa penyakit yang diderita oleh orang yang bersangkutan, atau juga mengakibatkan berhentinya air yang mengalir di lingkungan tanatoa kajang. Tentang persoalan ini, ada sebuah pasang yang menjelaskannya, yang penulis kutip dari Adhan (2005: 262), pasang tersebut berbunyi:
“Naparanakkang juku // Napaloliko raung kaju // Nahambangiko allo // Nabatuiko ere’ bosi // Napalolo’rang ere tua // Nakajariangko tinanang”.
Artinya: Ikan bersibak; pohon-pohon bersemi; matahari bersinar; hujan turun; air tuak menetes; segala tanaman menjadi.
Pasang diatas, merupakan petunjuk atau gambaran bagaimana masyarakat kajang menghormati lingkungannya dengan cara menjaga hutan mereka agar tetap lestari. Bagi mereka, terjaganya kelestarian huta juga merupakan pertanda bahwa ketika terjadi pergantian ammatoa, maka ammatoa yang terpilih tersebut diterima oleh turiek arakna dan alam. Sehingga ammatoa dalam cara pandang mereka, telah berhasil mengimplementasikan ajaran-ajaran pasang sebgaimana yang dititahkan oleh turiek araknna (Adhan, 2005: 263).
Kemudian, dalam kawasan adat masyarakat kajang, terdapat suatu kawasan inti yang berada di sekitar rumah Ammatoa dan para pemangku adat. Kawasan inti ini terlihat dari letak atau pola pemukiman yang menghadap ke arah Barat atau arah kiblat, yang masih menyesuaikan dengan adat dan tradisi mereka.
Dalam beberapa literatur, seperti yang diungkapkan oleh Aziz (2008) dan Adhan (2005), dikatakan bahwa kawasan ini sejatinya lahir karena ketidakteraturan yang terjadi di masa lampau. Dimana seluruh kehidupan di dunia termasuk manusia pada waktu itu masih dalam keadaan liar. Keadaan ini mendorong sejumlah orang untuk membentuk sebuah komunitas berikut segala aturan yang ada di dalamnya yang sampai saat ini masih bertahan dan tetap dilestarikan oleh masyarakat adat tersebut.
Selain itu, dalam kehidupan sehari-hari masyarakat adat juga sanagat memegang teguh pasanga ri Kajang (pesan di Kajang) yang juga adalah ajaran leluhur mereka. Isi pasanga ri Kajang tersebut, sebagaimana yang penulis kutip dari Adhan (2005: 268-270), adalah:
Tangurangi mange ri turiea arana, yang berarti senangtiasa ingat pada Tuhan Yang Berkehendak.
Alemo sibatang, abulo sipappa, tallang sipahua, manyu siparampe, sipakatau tang sipakasiri, yang artinya memupuk persatuan dan kesatuan dengan penuh kekeluargaan dan saling memuliakan.
Lambusu kigattang sabara ki pesona, yang artinya bertindak tegas tetapi juga sabar dan tawakkal.
Sallu riajoka, ammulu riadahang ammaca ere anreppe batu, alla buirurung, allabatu cideng, yang artinya harus taat pada aturan yang telah dibuat secara bersama-sama kendati harus menahan gelombang dan memecahkan batu gunung
Nan digaukang sikontu passuroangto mabuttayya, yang artinya melaksanakan segala aturan secara murni dan konsekuen.
Kelima ajaran inilah yang menjadi pedoman masyarakat dan para pemimpin dalam kehidupan sehari-hari. Dari kelima pesan ini lahir prinsip hidup sederhana dan saling menyayangi diantara mereka. Lebih dari itu adalah bentuk kasih sayang terhadap lingkungan mereka. Implementasinya dapat kita lihat dengan adanya hukum adat yang melarang mengambil hasil hutan dan isinya secara sembarangan. Masyarakat adat Tana Toa sangat peduli terhadap lingkungannya terutama pada kelestarian hutan yang harus tetap dijaga.
Dalam hal perkawinan, masyarakat adat Kajang terikat oleh adat yang mengharuskan menikah dengan sesama orang dalam kawasan adat. Jika tidak maka mereka harus hidup di luar kawasan adat, pengecualian bagi pasangan yang bersedia mengikuti segala aturan dan adat-istiadat yang berlaku di dalam kawasan adat. Hal tabu lainnya adalah memasukkan barang-barang buatan manusia yang tinggal di luar kawasan adat serta pengaruh maupun bentuk-bentuk lainnya ke dalam kawasan adat (Adhan, 2005: 283).
Masyarakat adat Kajang hidup dari bertani dan memelihara hewan ternak. Kehidupan masyarakat adat Kajang sangat sederhana, bahkan rumah mereka pun sangat sederhana, tiap rumah hanya memiliki satu tangga berikut pintu masuk di bagian depan. Pada bagian dalam tidak ada kamar, yang ada hanyalah dapur yang terdapat pada bagian depan rumah tepat di sebelah kiri pintu masuk. Penempatan dapur di dekat pintu mengandung filosofis bahwa masyarakat Kajang sangat mamuliakan dapur sebagai sumber kehidupan. Tidak adanya sekat ruangan memiliki makna bahwa masyarakat Kajang ingin menunjukkan sikap keterbukaannya kepada para tamu yang datang (Adhan, 2005: 285).
Dalam kawasan adat Ammatoa Kajang terdapat hutan adat yang disebut juga hutan pusaka seluas 317,4 Ha. Hutan ini sama sekali tidak boleh diganggu gugat, sehingga tidak diperbolehkan kegiatan apapun yang dapat merusak kelestarian hutan. Kegiatan yang dimaksud antara lain penebangan kayu, perburuan hewan dan membakar hutan (Aziz, 2008: 35).
Setiap pelanggaran yang dilakukan dalam kawasan adat akan mendapatkan sanksi berupa hukum adat. Ada beberapa hukum adat, mulai dari hukuman paling ringan sampai paling berat. Hukuman paling ringan atau disebut juga cappa babala adalah keharusan menbayar denda sebesar 12 real ditambah satu ekor kerbau. Satu tingkat diatasnya adalah tangga babala dengan denda 33 real ditambah satu ekor kerbau, denda paling tinggi adalah poko babala yang diharuskan membayar 44 real ditambah dengan seekor kerbau. real yang digunakan dalam hal ini adalah nilainya saja, karena uang yang digunakan adalah uang benggolyang saat ini sudah sangat jarang ditemukan (Aziz, 2008: 39-40).
Ada dua bentuk hukuman lain di atas hukuman denda yaitu: tunu panroli dan tunu Passau. Tunu panroli biasanya dilakukan bagi kasus pencurian bertujuan untuk mencari palakunya. Caranya seluruh masyarakat harus memegang linggis yang membara setelah dibakar. Jika tersangka lari dari hukuman dengan meninggalkan kawasan adat Tana Toa, maka pemangku adat akan menggunakan tunu Passau. Caranya Ammatoa akan membakar kemenyan dan membaca mantra yang dikirimkan ke pelaku agar jatuh sakit atau meninggal secara tidak wajar. Adanya hukum adat dan pemimpin yang sangat tegas dalam menegakkan hukum membuat masyarakat kawasan adat Tana Toa sangat tertib dan mematuhi segala peraturan dan hukum adat (Aziz, 2008: 41).
Selain hutan adat, terdapat juga hutan kemasyarakatan seluas 144 Ha. Hutan ini boleh digarap atau ditebang pohonnya, tetapi dengan syarat harus menanam terlebih dahulu bibit pohon yang jenisnya sama dengan pohon yang akan ditebang, bibit pohon ini harus ditanam disebelah pohon yang akan ditebang. Selain ini ada pula yang disebut hutan rakyat seluas 98 Ha. Hutan rakyat digarap secara bersama-sama oleh masyarakat dan hasilnya dinikmati bersama-sama (Adhan, 2005: 205).
Bagi masyarakat Kajang, bumi merupakan warisan nenek moyang yang sangat berkualitas dan seimbang. Untuk itu anak cucunya berhak dan harus mendapatkan kualitas yang sama persis. Ungkapan tersebut mengandung makna filosofis yang menempatkan bumi sebagai anugerah Allah SWT yang tak ternilai harganya karena menjadi sumber segala kehidupan, untuk itu menjaga alam dan keseimbangannya menjadi syarat yang utama.
Sebagai rasa syukur atas kemurahan alam, setiap akhir tahun masyarakat kawasan adat Tana Toa melakukan upacara andingingi yang artinya mendinginkan, yang bermaksud untuk mendinginkan alam. Artinya ada saatnya alam untuk diistirahatkan dan didinginkan, setelah diolah dan diambil isinya sepanjang tahun.
Kemudian mengenai kearifan ekologis yang dipraktekkan oleh masyarakat Kajang, tentunya tudak dapat dipisahkan dari prinsip hidup yang disebut tallse kamase-mase, dimana hal ini juga termasuk dari bagian pasang yang secara eksplisit memerintahkan asyarakat kajang untuk hidup secara sederhana dan bersahaja. Secara harfiah, tallase kamase-mase berarti hidup memelas, hidup apa adanya. Memelas disini dimaksudkan sebgagai tujuan hidup masyarakat kajang menurut pasang adalah semata-mata mengabdi kepada turiek arakna. Prinsip tallase kamase-mase, berarti tidak mempunyai keinginan yang berlebihan dalam kehidupan sehari-hari, baik untuk makan, maupun dalam kebutuhan pakaiannya. Dengan cara yang demikian, maka keinginan mendapatkan hasil berlebihan dari dalam hutan dapat dihindari, setidak-tidaknya dapat ditekan seminimal mungkin, sehingga hutan tidak terganggu kelestariannya (Salle, 2000: 32).
Hidup sederhana bagi masyarakat kajang adaalh semacam ideologi yang berfungsi sebagai rujukan nilai dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Secara lebih jelas tallase kamese-mase ini tercermin dalalm pasang berikut ini: Jagai lino lollong bonena, kammayatompa langika, rupa taua, siagang boronga, yang artinya peliharalah dunia beserta isinya, demikian pula langit, manusia dan hutan (Salle, 2000: 17). Sejatinya psang ini mengajarkan nilai kebersahajaan bagi seluruh masyarakat kajang tanpa terkecuali ammatoa sebgagai pemimpi tertinggi dari adat kajang. Hal tersebut dipandang sebagai sebuah filosofi hidup mereka yang menempatkan langit, dunia, manusia dan hutan sebgai satu kesatuan yang tak terpisahkan dalam suatu ekosistem yang harus dijaga keseimbangannya. Manusia hanyalah salah satu komponen dari makro kosmos yang selalu ergantung dengan komponen lainnya. Untuk itu, dalam berinteraksi dengan komponen makro kosmos lainnya, manusia tidak bleh bertindak sewenang-wenang karena akan merusak keseimbanagn yang telah tertata secara alami.
Sehingga kekonsistenan masyarakat adat kajang ini dalam memegang teguh prinsip hidup mereka tersebut, dapat dilihat dari cara mereka mengimplementasikannya dalam praktek kehidupannya sehari-hari, salah satunya adalah dengan bentuk rumah yang seragam. Keseragaman yang ada tersebut berupa seragam bahan materialnya, seragam ukurannya dan sedapat mungkin seragam arah bangunannya. Keseragaman tersebut dimaksudkan untuk menghindari saling iri di kalangan mereka sendiri, yang dapat berakibat pada keinginan untuk memperoleh hasil yang lebih banyak dengan cara merusak hutan (Adhan, 2005: 282).
Satu hal yang menraik dari masyarakat Kajang adalah hutan ibarat seorang ibu yang memberikan perlindungan sekaligus harus dilindungi. Perumpamaan ini sebenarnya tidak hanya mengandung makna filosofis saja, tetapi juga berimplikasi pada manfaat praktis terkait dengan kegiatan-kegiatan pelestarian hutan. Terkait dengan hal ini, setidaknya ada dua fungsi utama hutan bagi masyarakat Kajang. Pertama, sebagai fungsi ritual yaitu salah satu mata rantai dari sistem kepercayaan yang memandang hutan sebagai suatu yang sakral. Konsekuensi dari kepercayaan tersebut tergambar pada upacara yang dilakukan dalam hutan, misalnya pelantikan pemimpin adat (Ammatoa), attunu passaung (upacara kutukan bagi pelanggar adat), upacara pelepasan nazar dan upacara angnganro (bermohon kepada Turek Akraknauntuk suatu hajat baik individu maupun kolektif). Kedua, sebagai fungsi ekologis, di mana hutan dipandang sebagai pengatur tata air (appariek bosi, appariek tumbusu), yang menimbulkan adanya hujan dan menyimpan cadangan air (Restu dan Sinohadji, 2008: 57)
III. PENUTUP
Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari seluruh pemaparan makalah ini adalah sejatinya masyarakat Kajang merupakan komunitas masyarakat yang berada di daerah Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, yang senantiasa menyandarkan segala aspek kehidupannya terhadap kekayaan alam sekitarnya yang murni tanpa ganguan produk tekhnologi apapun. Selain itu masyarakat ini juga, dalam sudut pandang kosmologi, dapat dikatakan sebagai komunitas adat yang mengutamakan ekologi atau lingkungannya sebagai warisan nenek moyang mereka yang mesti terus dijaga dan dilestarikan. Sebab dari alam dan lingkungannya itulah, yang dalam hal ini hutannya, mereka bisa terus eksis sampai hari ini.
Selain itu, masyarakat adat Ammatoa Kajang percaya bahwa manusia merupakan bagian dari sistem kosmik yang berjalan secara sistemik dan diatur oleh Turiek Arakna guna keberlansungan kehidupan alam dan manusia itu sendiri. Segala sesuatu dari ajaran tersebut seluruhnya berasal dari pasang ri Kajang yang diyakini oleh masyarakat setempat sebagai kitab yang diturunkan oleh Turiek Arakna guna membimbing kehidupan mereka yang mesti senantiasa selaras dan harmonis dengan alam.
DAFTAR PUSTAKA
Adhan, Syamsurijal, 2005, Islam dan Patuntung di Tanah Toa Kajang: Pergulatan Tiada Akhir, dalam Hikmat Budiman, ed., Hak-Hak Minoritas: Dilema Multikulturalisme di Indonesia, Yayasan Intereksi Bekerjasama dengan Tifa Foundation, Jakarta.
Aziz, M., 2008, Pesan Lestari dari Negeri Ammatoa, Pustaka Refleksi, Makassar.
Bakker, Anton, 1995, Kosmologi dan Ekologi: Filsafat Tentang Kosmos Sebagai Rumah Tangga Manusia, Kanisius, Yogyakarta.
Poedjawijatna, 1987, Manusia Dengan Alamnya (Filsafat Manusia), Bina Aksara, Jakarta.
Restu, M. dan Sinohadji, Emil, 2008, Boronga ri Kajang (Hutan di Kajang), Pustaka Refleksi, Makassar.
Salle, K, 2000, Kebijakan Lingkungan Menurut Pasang: Sebuah Kajian Hukum Lingkungan Adat Pada Masyarakat Ammatoa Kecamatan Kajang Kabupaten Daerah Tingkat II Bulukumba, dalam Jurnal Pascasarjana Universitas Hasanuddin Vol. I Tahun 2000, Makassar, Pdf.
Schlick, Moritz, 2001, Filsafat Alam, terj. Cuk Ananta Wijaya, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Siswanto, Joko, 2005, Orientasi Kosmologi, Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
Suriani, 2006, Tanah Laksana Ibu Bagi Suku Kajang, Pdf.
Widyasmoro, T.T, 2006, Kajang, Badui dari Sulawesi, Pdf.
Sumber : ighoelmachete
0 komentar:
Post a Comment