Aksi penolakan pembangunan pabrik semen di Rembang. Foto: Facebook|FKMA |
(Liputan Perlawanan Komunitas Warga Rembang Melawan Korporasi Pertambangan Semen)
Oleh : M. Afandi, Relawan FKMA
Kebuntuan Demokrasi Pasca Otoritarian Orde Baru
Runtuhnya rejim otoritarian Orde Baru pada Mei 1998, pada mulanya diharapkan dapat menghadirkan peluang dan praktik demokrasi di Indonesia menjadi lebih baik. Dimana, peluang tersebut dapat dilihat pada hadirnya diskursus demokrasi desentralistik dan kebebasan pers. Demokrasi desentralistik digadang-gadang dapat memecahkan kebuntuan terpusatnya kekuasaan negara yang berlaku pada era Orde Baru sekaligus menciptakan ruang kontrol sosial yang benar-benar berasal dari masyarakat sipil. Berbagai pihak menafsirkannya dengan segala euforia reformasi dan meyakini bahwa era desentralisasi akan membawa perubahan yang berpihak kepada kepentingan akar rumput. Di sisi lain, hadirnya kebebasan pers dan peluang untuk berserikat, berpendapat dan keterbukaan mengelola informasi juga diyakini dapat membawa bentuk masyarakat yang lebih otonom.
Namun seiring dalam perjalanannya, demokrasi desentralisasi menemui berbagai jalan buntu dan tantangan yang serius. Diantaranya adalah : Pertama, Menguatnya rejim korporasi yang membawa dampak meningkatnya konflik-konflik sumberdaya di tingkat akar rumput sehingga terus memicu krisis sosial yang semakin akut. Kedua, Munculnya berbagai formulasi regulasi yang ditandai dengan penyingkiran komunitas lokal, seperti petani, masyarakat adat dan nelayan tradisional. Bentuk regulasi ini dapat kita lihat dengan skema Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), dimana pulau-pulau terluar Jawa dianggap sebagai lokasi ideal untuk menjadi target investasi. Ketiga, Hadirnya kelompok-kelompok yang mengusung nilai-nilai keagamaan tertentu dengan prilaku kekerasaan yang dapat mengancam kehidupan beragam komunitas. Bahkan saat ini, perilaku tersebut digunakan untuk melegitimasi kekerasan korporasi dan negara yang haus akan sumberdaya. Keempat, Ancaman konglomerasi dan kapitalisasi media yang akan membawa dampak penyeragaman wacana gaya baru dan peminggiran kepentingan suara-suara komunitas akar rumput. Kelima, Menguatnya politik dinasti di beberapa daerah yang seringkali menjadi aktor baru dalam penghancuran tata ruang, ekonomi dan ekologi komunitas pedesaan. Keenam, rendahnya perlindungan hukum terhadap isu-isu yang terkait dengan perempuan.
Situasi ini dapat terlihat jelas pada sebuah daerah yang bernama Jawa Tengah. Daerah yang akhir-akhir ini diramaikan oleh banyaknya protes dan perlawanan dari berbagai komunitas akar rumput yang tidak sepakat dengan berbagai regulasi pertambangan yang berdampak pada ruang hidup mereka. Salah satunya adalah pertambangan pabrik semen yang semakin marak di bagian Utara propinsi ini. Bagaimana proses perebutan ruang hidup itu terjadi dan bagaimana pula komunitas akar rumput melakukan perjuangannya ? Artikel singkat ini ditujukan untuk membahas pertanyaan tersebut.
Nafsu Besar Kapitalisme Pertambangan Semen
Iklim investasi pertambangan semen di Indonesia semakin terus menunjukkan angka yang meningkat, khususnya pada awal abad 21 saat ini. Hal tersebut bermula pada terjadinya perluasan sirkuit kapital (modal) yang tersebar di berbagai daerah, baik dalam industri properti, pariwisata, ataupun infrastruktur pertambangan. Perluasan itu salah satunya dapat dilihat dari hadirnya mega proyek raksasa Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Mega proyek kapitalisme raksasa yang memiliki 22 kegiatan ekonomi utama ini ditengarahi telah memicu kebutuhan semen meningkat hingga 10 persen pada tahun 2013. Bahkan Ketua Asosiasi Semen Indonesia (ASI), Widodo Santoso dalam rapat kerja di Kementrian Perindustrian pada tanggal 12 Februari 2013 menjelaskan bahwa MP3EI menciptakan peningkatan konsumsi semen dari 55 juta ton di tahun 2012 menjadi 60 juta ton pada tahun 2013 (Tempo, 2013).
Di dalam rangka memenuhi kebutuhan semen untuk kepentingan industri tersebut, berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah ataupun pihak swasta. Salah satunya oleh pihak PT Semen Indonesia, sebuah perusahaan BUMN yang memiliki anak perusahaan dan afiliasi dengan PT Semen Gresik, PT Semen Padang, PT Semen Tonasa dan Thang Long Cement. Perusahaan ini berkomitmen untuk meningkatkan produksinya dengan cara membuka unit-unit baru di berbagai wilayah. PT Semen Tonasa akan mengoperasikan pabrik barunya di Pangkep, Sulawesi Selatan. PT Semen Gresik berencana akan beroperasi di Sorong, Papua Barat dan juga ingin memperluasnya hingga ke Rembang, Jawa Tengah. Terkait dengan pembangunan pabrik barunya di Rembang, bahkan PT Semen Indonesia, mendapatkan fasilitas pinjaman senilai 1,4 Triliun dari Bank Mandiri pada Maret 2014 lalu yang rencananya akan digunakan untuk membeli sejumlah mesin (Merdeka, 2014). Hal senada juga dinyatakan oleh Abdul Rahman, Direktur Institutional Bank Mandiri yang menyatakan bahwa pemberian pinjaman yang dilakukan sebagai bentuk komitmen penuntasan program MP3EI.
Geliat pertumbuhan industri pabrik dan pertambangan semen ini tentunya memberikan kemudahan dan kelancaran bagi sirkuit modal yang di dalamnya terdapat kepentingan korporasi dan kapitalisme raksasa. Namun di sisi lain, pertumbuhan tersebut juga telah memicu lahirnya konflik agraria, krisis sosial dan ekologi baru akibat kerugian-kerugian yang ditimbulkannya dan berdampak secara langsung pada ruang hidup komunitas-komunitas akar rumput. Tidak mengherankan jika selanjutnya muncul protes dan perlawanan secara massif dari akar rumput di berbagai daerah akhir-akhir ini, baik yang diakibatkan oleh hadirnya MP3EI ataupun industri pabrik semen. Padahal jika melihat kembali pada abad 20, produksi semen dunia pada tahun 1995 telah menyumbang tujuh persen gas rumah kaca atau sekitar 1,5 miliar ton. Angka ini diprediksi akan terus melaju kencang di abad 21 seiring dengan meluasnya pembangunan infratruktur dalam berbagai bidang serta tiadanya alternatif pengganti industri semen berbahan karst.
Pertanian versus Pertambangan : Catatan dari Rembang
Poster penolakan pabrik semen di Rembang. |
Jawa Tengah adalah sebuah propinsi yang memiliki kekayaan sumber daya alam (mineral) berlimpah. Selain kaya akan menineral pasir besi, gas dan minyak bumi yang terletak di pesisir selatan dan di bagian utaranya, daerah ini juga memiliki gugusan gunung serta bukit karst yang terbentang luas di wilayah utara. Gugusan pegunungan karst ini disebut sebagai kawasan Pegunungan Kendeng Utara, sebuah wilayah yang meliputi kabupaten Pati, Blora, Kudus, Grobogan dan Rembang.
Kawasan pegunungan Kendeng Utara, memiliki ekosistem dan topografi yang cukup unik, dimana di dalamnya terdapat kekayaan berupa air dan sungai bawah tanah dalam jumlah yang melimpah serta berbagai jenis keanekaragaman hayati. Sedikitnya ada 300 sumber mata air yang berada di kawasan ini. Di kabupaten Pati, Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) mengatakan bahwa sungai bawah tanah yang berada di pegunungan Kendeng Utara mampu memenuhi kebutuhan air rumah tangga dan lahan pertanian dalam jumlah cukup luas. Di Kecamatan Sukolilo, luas lahan pertanian yang bersumber dari sungai bawah tanah tersebut mencapai luas 15.873 ha dan di Kecamatan Kayen mencapai 9.063 ha.
Namun pada masa selanjutnya, ketenangan masyarakat agraris yang mendiami pegunungan Kendeng Utara di wilayah Pati ini harus berhadap-hadapan dengan kepentingan yang berbeda, yaitu kepentingan industri pabrik semen. Pasalnya, kekayaan karst yang terdapat di wilayah ini hendak dieksplotasi untuk pendirian pabrik baru berbagai perusahaan semen. Karst pegunungan Kendeng Utara diyakini memiliki kwalitas tinggi serta tersedia dalam jumlah yang cukup besar. Situasi ini mulai terjadi pada tahun 2005, dimana saat PT Semen Gresik berniat menanamkan investasinya dalam bentuk pendirian pabrik baru yang wilayah pendirian dan operasionalnya meliputi 4 kecamatan, yaitu Sukolilo, Kayen, Gabus dan Margorejo. Luas wilayah pendirian pabrik baru PT Semen Gresik ini mencapai luasan hingga 1.350 ha.
Mendapatkan isu wilayah mereka akan dijadikan areal pertambangan, warga yang mendiami 4 kecamatan tersebut ramai-ramai mulai bergerak melakukan protes. Mereka meleburkan diri dan membentuk sebuah organisasi yang dinamai dengan Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK). Di pihak lain, pemerintah Kabupaten Pati, melalui Kantor Pelayanan dan Perijinan Terpadu (Kayandu) justru meresponnya dengan memberikan ijin kepada PT Semen Gresik untuk melakukan kegiatan penambangan. Lolosnya ijin dan Amdal PT Semen Gresik saat itu, dituding karena terdapat pengaruh lingkungan kampus yang juga ikut mendukungnya. Mereka adalah Lembaga Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Diponegoro. Situasi yang ironis ini mengundang simpati dari berbagai kalangan kampus lainnya. Reaksi berbeda muncul dari Universitas Gadjah Mada dan Universitas Pembangunan Yogyakarta, yang dalam kesimpulan akademisnya menyatakan bahwa kawasan karst Kendeng tidak diperbolehkan untuk ditambang dengan alasan kawasan ini telah menggerakkan roda perekonomian yang cukup signifikan bagi masyarakat lokal dan beberapa pertimbangan resiko ekologis lainnya. Alasan yuridis lainnya yang juga menjadi kekuatan untuk menjegal pendirian pabrik semen di Pati adalah dapat merujuk pada beberapa ketentuan hukum, yaitu Surat Keputusan Menteri ESDM Nomor. 1456 K/20/MEM/2000 tentang Pedoman Pengelolaan Kawasan Karst dan SK Nomor. 0398 K/40/MEM/2005 tentang Penetapan Kawasan Karst Sukolilo. Dalam SK Nomor. 0398 K/40/MEM/2005 dijelaskan bahwa Kawasan Karst Sukolilo terletak di 3 kabupaten, yaitu Pati, Grobogan dan Blora. Luas kawasan ini mencapai 19.590 hektar dan terbagi menjadi kawasan lindung dan budidaya.
Menghadapi situasi ini, warga JMPPK terus melakukan perjuangannya, hingga pada tahun 2010 perjuangan yang mereka lakukan akhirnya menemui kemenangan di meja hukum. Mahkamah Agung mengeluarkan putusan dengan Nomor 103 K/TUN/2010 yang menyatakan bahwa Ijin Usaha Pertambangan (IUP) PT Semen Gresik yang dikeluarkan Kayandu Pati harus dibatalkan karena belum melalui prosedur Amdal secara benar. Putusan ini menyemangati perjuangan warga yang telah berjalan 5 tahun. Namun belum lama warga merasa mendapatkan kemenangan, kini gantian PT Sahabat Mulia Sakti (PT SMS) yang hendak masuk menggantikan PT Semen Gresik. PT SMS adalah anak perusahaan PT Indocement Tunggal Perkasa. Dalam perencanaannya, PT SMS akan melakukan pendirian pabrik dan operasionalnya di Kacamatan Kayen dan Tambak Kromo. Situasi ini kembali direspon oleh warga JMPPK dengan kembali turun ke jalan dan menggugatnya secara hukum formal.
Luas Total Kawasan Lindung
dan Kawasan Budidaya Karst Sukolilo di Pati
|
|||
No
|
Lokasi Kawasan Karst Lindung dan Luas
|
Lokasi Kawasan Budidaya dan Luas
|
Luas Areal
|
1
|
Kecamatan Sukolilo ;
1.682 ha
|
Kecamatan Sukolilo ; 6.250 ha
|
Kawasan Karst Lindung ; 2.262,55 ha
Kawasan Budidaya Karst ; 9.101 ha
|
2
|
Kecamatan Kayen ;
569,50 ha
|
Kecamatan Kayen ; 1.524 ha
|
|
3
|
Kecamatan Tambakromo
; 11,05 ha
|
Kecamatan Tambakromo ; 1.327 ha
|
Sumber
: Erwin Dwi Kristianto dengan rujukan utama Dokumen SLHD Pati 2010
Setelah mendapatkan penolakan terus menerus dari warga Pati, kini PT Semen Gresik yang pada tahun 2012 mengubah namanya menjadi PT Semen Indonesia (PT SI) mengincar Pegunungan Kendeng Kabupaten Rembang sebagai lahan investasi barunya. Lokasi tersebut berada di Cekungan Watuputih, Kecamatan Gunem, sebuah wilayah yang memiliki 109 mata air, 4 sungai bawah tanah dan 49 gua yang kaya akan fosil-fosil kuno. Isu rencana penambangan ini mulai santer pada tahun 2012 setelah PT SI mendapatkan ijin eksplorasi dari pemerintah. Pada April 2013, rencana tersebut semakin kuat setelah Kementerian Kehutanan menyetujui tukar guling lahan Perhutani KPH Mantingan untuk kebutuhan lokasi pendirian pabrik PT SI di Gunem.
Hal ini semakin memancing warga JMPPK Rembang di 6 desa yang berada tepat di sekeliling wilayah lokasi rencana pabrik bergerak melakukan penolakan secara massif. Penolakan dan protes dengan berbagai cara dilakukan secara terus menerus. Diantaranya adalah pada bulan Maret 2013 mereka mengirimkan surat kepada Presiden, Gubernur Jawa Tengah, Bupati Rembang hingga Camat Gunem. Tidak berhenti disitu, ratusan warga pada September 2013 juga berunjuk rasa di depan kantor Perhutani KPH Mantingan dan kantor DPRD Rembang.
Memasuki awal tahun 2014, warga berencana menggugat PT SI ke meja peradilan. Mereka mengatakan bahwa penggunaan kawasan Cekungan Air Tanah Watuputih sebagai areal penambangan telah melanggar Perda RTRW Propinsi Jawa Tengah Nomor 6 Tahun 2010 dan Perda RTRW Kabupaten Rembang Nomor 14 Tahun 2011. Kedua Perda ini telah menetapkan kawasan tersebut sebagai kawasan lindung imbuhan air dan kawasan lindung geologi. Tidak puas hanya menggugat di peradilan, warga kembali turun ke jalan pada Februari 2014 untuk menggelar aksi di kantor DPRD Kabupaten Rembang. Demonstrasi ini justru disambut dengan pernyataan Sekretaris Daerah Rembang yang berbunyi “peneken pendirian pabrik semen adalah Gubernur”.
Mafia Pertambangan Semen di
Pegunungan Kendeng
|
||
No
|
Kabupaten
|
Perusahaan
|
1
|
Pati
|
Semen Gresik, SMS, Indocement
|
2
|
Rembang
|
Semen Indonesia, Gunung Mas Indonesia, Bosowa
|
3
|
Grobogan
|
Vanda Prima Lestari
|
4
|
Blora
|
Imasco Tambang Raya
|
Sumber
: FKMA, 2014
Memotret Aksi 16 Juni 2014 di Rembang
Minggu pagi 15 Juni 2014, warga Desa Tegaldowo dan Timbrangan Kecamatan Gunem mendadak resah saat berhembus kabar bahwa pada tanggal 16 Juni 2014 akan digelar sebuah kegiatan doa bersama di sebuah lokasi yang rencananya akan menjadi tapak pabrik PT SI. Kabar tersebut ternyata membawa pesan bahwa kegiatan doa bersama bukan hanya sekedar doa biasa, melainkan sebuah perhelatan sakral yang ditujukan sebagai prosesi kelancaran pendirian PT SI sekaligus akan disambung dengan acara peletakan batu pertama.
Kabar tersebut segera mereka sebarkan ke tetangga desa lainnya. Desa-desa yang bakal bernasib sama sebagai lokasi yang terdampak dari rencana pendirian pabrik PT SI. Menjelang malam hari, sebuah kesepakatan untuk melakukan aksi pada tanggal 16 Juni sudah dipersiapkan secara matang. Rencananya warga akan melakukan blokade jika acara tanggal 16 Juni yang digelar oleh PT SI benar-benar nekad melakukan kegiatan peletakan batu pertama. Gerakan ala blokade ini mayoritas akan dilakukan oleh kaum perempuan dari 2 desa tersebut.
Usai kumandang azan subuh, warga mulai bergerak menuju lokasi tapak pabrik. Setibanya di dekat lokasi tapak pabrik, gerombolan kaum ibu-ibu tersebut langsung dihadang puluhan aparat Kepolisian dan Tentara Nasional Indonesia. Mereka menginstrusikan agar warga yang melakukan aksi segera membubarkan diri dan kembali ke rumah masing-masing. Situasi ini terjadi pada pukul 7 pagi. Situasi terus memanas, saat TNI-Polri kembali memprovokasi warga bahwa aksi yang dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku di Republik Indonesia. Tepat pada pukul 08.45 WIB, aksi warga dibubarkan secara paksa oleh TNI-Polri yang dari sejak awal terlihat tidak menginginkan aksi demonstrasi tersebut terjadi.
Represifitas tersebut berujung pada jatuhnya korban dari pihak ibu-ibu dan 4 relawan JMPPK yang bertugas sebagai tim dokumentasi. 2 warga jatuh pingsan karena dilemparkan ke tepi jalan oleh pihak keamanan yang sedang berjaga, begitu juga dengan 4 relawan JMPPK yang bertugas mendokumentasikan aksi, ditahan di mobil kepolisian yang terparkir tidak jauh dari lokasi aksi. Di dalam situasi yang penuh isak tangis ini, ibu-ibu melakukan doa dan zikir secara serentak dengan harapan kekuatan dan energi baru kembali datang. Warga dari desa terdekat mulai berdatangan saat tersiar kabar bahwa aksi telah berujung bentrok. Ketegangan ini sedikit mereda saat 4 relawan JMPPK dilepaskan dari penangkapan pada pukul 2 siang.
Dari hasil penelusuran wawancara penulis kepada relawan JMPPK (17/6), didapatkan keterangan bahwa sebelum terjadinya penangkapan terhadap 4 rekan mereka, terlihat polisi datang bersama seorang wartawan yang mereka kenal bekerja di sebuah perusahaan media cetak arus utama. Wartawan tersebut ikut dalam barisan polisi yang berusaha merajia para peserta aksi. Rajia tersebut diarahkan kepada para peserta aksi yang terlihat memegang peralatan dokumentasi. Peran wartawan tersebut sebagai pemberi informasi kepada polisi siapa-siapa saja yang benar-benar berprofesi sebagai wartawan. Ringkasnya, hal tersebut untuk mengarahkan bahwa para relawan tersebut adalah “wartawan palsu”. Hal inilah yang membuat para relawan JMPPK tersebut ditangkap. Saat hari menjelang sore, ketegangan kembali terjadi. Pasalnya, warga menginginkan aksi tetap dilanjutkan. Aparat kepolisian yang berjaga melarang warga untuk melakukan aksi inap, dan selanjutnya bahkan mereka melarang logistik berupa makanan dan bensin untuk genset masuk ke lokasi tenda.
Memasuki hari kedua, aksi blokade tetap berjalan, namun seperti dugaan awal para relawan JMPPK, aksi yang mereka lakukan tidak mendapatkan tempat di berita-berita media arus utama. Bahkan dalam satu media cetak di Jawa Tengah yang memberitakan aksi mereka, berita yang dicetak justru memperlihatkan keberpihakan media tersebut kepada kepentingan tuan pemilik modal (PT SI). Walaupun tidak mendapatkan tempat khusus di media arus utama, aksi warga JMPPK ini malah mendapatkan tempat istimewa di ranah media komunitas dan media sosial lainnya. Sejak hari pertama aksi dilakukan, isu aksi Rembang setidaknya telah membanjiri lalu lintas di media sosial. Semakin bertambah hari, isu aksi ini terus meluas dan tetap membanjiri media-media alternatif. Beberapa kota bahkan menyatakan bentuk solidaritasnya untuk turun ke jalan. Diantaranya adalah Blora, Semarang, Purwokerto, Bandung, Jakarta, Makassar dan Yogyakarta.
Solidaritas Jogja untuk Rembang. Minggu malam (22/6) di Titik Nol KM. Foto: Facebook|FKMA |
Solidaritas Jogja untuk Rembang. Minggu malam (22/6) di Titik Nol KM. Foto: Facebook|FKMA |
Memasuki hari ketiga (18/6), penulis bersama rekan-rekan yang lain mencoba untuk melakukan penelusuran ke berbagai pihak terkait. Pertama, penulis berhasil mewancarai Ismartoyo, Humas Perhutani Kabupaten Rembang. Terkait dengan tukar guling lahan Perhutani untuk kebutuhan PT SI, Ismartoyo memberikan jawaban “tukar guling ini merupakan wewenang dari Pusat, dan jika itu yang terbaik untuk Perhutani maka Perhutani Rembang terpaksa mengikuti perintah tersebut”. Selanjutnya penulis dan rekan mencoba untuk melakukan wawancara lanjutan dengan beberapa instansi pemerintah Kabupaten Rembang. Namun usaha tersebut gagal karena beberapa kepala instansi pemerintah yang hendak diwawancari tidak berada di tempat.
Mendapatkan keterangan dari Relawan JMPPK bahwa sebagian ulama di Rembang juga ikut berpartisipasi dalam penolakan, penulis dan rekan kembali memutuskan untuk melakukan wawancara. Selanjutnya, penulis bergerak ke kota Rembang menemui Gus Y, orang yang direkomendasikan relawan JMPPK untuk ditemui. Saat ditanya sikapnya terhadap rencana pendirian pabrik semen di Rembang, ia mengatakan bahwa “Alam yang ada di Rembang ini harus dikelola dengan baik, dan dengan demikian maka rencana pertambangan semen tersebut harus dikaji ulang. Terkait dengan sikap saya, maka jelas saya menolak”.
Sikap yang sama juga ditunjukkan oleh Gus U, tokoh agama kedua yang dipilih oleh penulis sebagai narasumber. Dalam keterangannya ia menyatakan bahwa dirinya secara tegas menolak kehadiran pabrik semen di Rembang. Namun pernyataan Gus U ini, menjadi kontroversial saat aksi sudah memasuki hari ke 8 (23/6). Pasalnya, saat seorang narasumber dari JMPPK memberikan keterangan kepada penulis bahwa pada tanggal 23 Juni 2014, Gus U datang bersama rombongan polisi ke lokasi aksi dan menyerukan agar para ibu-ibu peserta aksi untuk pulang ke rumah masing-masing dan menyerahkan kasus yang terjadi pada prosedur hukum yang berlaku. Tidak hanya itu, bahkan narasumber menyebutkan sempat terjadi ketegangan saat sang ulama menyatakan “kalian pilih saya untuk ikut pulang ke rumah masing-masing atau mengikuti saran yang lain untuk tetap disini”. Para demonstran menjawab “kami tetap memilih untuk tetap bertahan disini sampai tuntutan kami berhasil”. Para demonstran mulai menaruh curiga dan mawas diri terhadap ulama tersebut.
Aksi solidaritas menolak pabrik semen di Rembang. |
Aksi solidaritas menolak pabrik semen di Rembang. |
Grafis Pegunungan Kendeng dari akun Facebook Imron. |
Ditulis pada tanggal : 20-24 Juni 2014 [Oleh : M. Afandi, Relawan FKMA]
- Sebelum mengganti nama menjadi PT Semen Indonesia pada tahun 2012, Perusahaan ini bernama PT Semen Gresik. Pada tanggal 27 Juli 2006, komposisi pemilik saham perusahaan ini adalah : 51 persen milik pemerintah dan 48.9 persen sisanya milik Blue Valley Holdings PTE Ltd dan publik. Selanjutnya pada tahun 2012, Perusaaan ini mengakusisi perusahaan semen Vietnam yang bernama Thang Long Cement.
- Lihat International World Energy Outlook.
- Luas kawasan lindung : 3.210 ha dan kawasan budidaya : 16.380 ha.
Sumber: artikel ini sebelumnya diposting pada halaman Selamatkanbumi[.]com
0 komentar:
Post a Comment