Cap Darah Untuk Lingkungan

GEMA pelestarian lingkungan membahana kemana-mana. Namun di Dataran Lindu, sebuah pelosok sekitar 65 kilometer ke Selatan Palu, ibukota Sulawesi Tengah atau di sekitar kawasan Danau Lindu, masyarakatnya sudah memiliki tradisi untuk menjaga lingkungannya.

Beberapa waktu lalu sebuah kegiatan adat digelar dalam rangka pelestarian lingkungan tersebut. Kegiatan itu bernama Kapotia Nulibu Ada atau permusyawaratan adat itu menghadirkan para tetua adat. Pokok bahasannya adalah bagaimana menjaga lingkungan dengan menegakkan hukum adat yang telah berlaku turun-temurun.

Ketua-ketua adat dari empat desa yang masuk dalam kawasan tersebut duduk bersila dipimpin seorang ketua adat yang membawahi ketua-ketua adat dari empat desa tersebut. Mereka mendiskusikan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan setiap individu dalam kaitan interaksi sosial dan lingkungannya. Tak hanya itu, sanksi-sanksinya juga ikut ditetapkan.

Mereka saling berbagi dan kerap kali harus berdebat untuk mencapai sebuah kesepakatan adat yang nantinya akan menjadi pedoman hubungan sesame manusia dan kepada lingkungan. Salah satu poinnya adalah, siapa-siapa yang ditemukan menebang pohon akan dikenakan sanksi berupa satu ekor kerbau. Kesepakatan lainnya, siapa-siapa yang ditemukan menangkap ikan di Danau Lindu ketika sedang dalam masa umbo (moratorium penangkapan) juga akan didenda satu ekor kerbau.

Tak sekadar membuat kesepakatan, kesepahaman itu disakralkan dengan menyembelih seekor kerbau hitam yang darahnya akan digunakan sebagai tinta untuk cap jempol lima jari pada kain putih. Semua pemuka adat harus melakukan cap jempol sebagai tanda persetujuan penegakan hkum adapt. Siapapun yang melanggar akan disanksi sesuai kesepakatan itu.

Daging kerbau yang disembelih dimasak ramai-ramai yang kemudian disajikan untuk dinikmati secara bersama-sama. Ketegangan, kerisauan dan bahkan kecemasan dalam proses pencapaian kesepakatan hilang dengan serta merta ketika sajian makanan dihamparkan oleh putri-putri warga setempat. ***

Naskah dan Foto: Basri Marzuki

-----------------------------------

Cries environmental blaring everywhere. But at the Lindu plain, a corner about 65 kilometers to the south Palu, capital Central Sulawesi or around the area of ??Lake Lindu, Sigi regency, Central Sulawesi, Indonesia, people already have a tradition of keeping their environment.

Some time ago an event was held in order to preserve the tradition of the environment. Activity named Kapotia Nulibu Ada or consent of indigenous elders were present. The subject is how to preserve the environment by enforcing customary law that has prevailed for generations.

Traditional heads of the four villages in the region led by a chairman sitting cross-legged in charge of indigenous peoples heads of the four villages. They discuss what should and what should not be done every individual in relation to social and environmental interactions. Not only that, the sanctions also set.
 
They shared and often had to argue to reach an agreement custom which will serve as guidelines human relationships and the environment. One point is, anyone found cutting down trees will be subject to a penalty in the form of a buffalo. Other agreements, anyone found fishing in Lake Lindu while during Umbo (moratorium) will also be subject to a fine of one buffalo.

Not just to make a deal, agreement was sanctioned by slaughtering a black bull, whose blood will be used as ink for thumbprint five fingers on a white cloth. All traditional leaders should do as a sign of approval thumb rule of customary law. Anyone in violation will be subject to a fine according to the agreement.

Who slaughtered buffalo meat cooked-yack which then served to be enjoyed together. Tension, anxiety and even fear in the process of reaching agreement necessarily disappear when the spread of food laid out by the daughters of local residents. ***

Photos and text: Basri Marzuki

Sumber: Catatan Ringan / Berita Palu
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Post a Comment