basecamp

Kajian: Pengetahuan Tradisional Dorong Adaptasi Iklim di Ghana

Masyarakat asli telah mengembangkan metode adaptasi dan strategi penangatan untuk mengelola lingkungan selama ratusan tahun. Carsten ten Brink
BOGOR, Indonesia (11 Oktober 2013) – Strategi yang digunakan oleh masyarakat asli desa untuk menduga bencana dan memitigasi dampak perubahan iklim bisa disebarkan untuk merancang skala besar upaya adaptasi global, demikian menurut penulis kajian masyarakat desa di cekungan sungai Offin di Ghana.

Cekungan tersebut – sebuah area semi-basah tropis dihuni terutama oleh petani subsisten – yang sangat terpukul akibat kegagalan panen sejak 2000  sebab meningginya temperatur udara, meningkatnya intensitas sinar matahari dan perubahan pola musim hujan, menurut kajian berjudul “Menggunakan pengetahuan tradisional untuk menghadapi perubahan iklim di Ghana (Using traditional knowledge to cope with climate change in Ghana)”.

“Banyak yang kita bisa pelajari dari pendekatan berbasis-adat, tradisi dan masyarakat untuk kesiapan bencana alam,” kata ilmuwan Benjamin Apraku Gyampoh, ketua penulis kajian.

“Masyarakat asli telah berhadapan dengan perubahan lingkungan selama ratusan tahun dan mengembangkan strategi terentang luas — pengetahuan dan praktik tradisional mereka menyediakan landasan penting untuk menghadapi tantangan lebih besar perubahan iklim.

 Apa yang bekerja secara efektif dalam pengetahuan tradisi, telah terbukti bertahun-tahun melalui eksperimen dan penyesuaian terhadap perubahan lingkungan alami
GENERASI TAHU-CARA

Misalnya, pada Desember 2004, gempa dengan kekuatan 9,15 di lepas pantai provinsi Aceh Indonesia memicu tsunami di samudera Hindia yang menewaskan sekitar 226.000 orang di Indonesia, Sri Lanka, India, Thailand dan sembilan negara lain.

Sesaat sebelum tsunami melanda, masyarakat Moken dan Urok Lawai di Thailand, Ong di pulau Andaman India dan Simeulue di Indonesia mengambil langkah pencegahan dengan berpindah ke dalam setelah mereka melihat ombak mundur dari garis pantai. Seluruh desa hancur, tetapi penduduk selamat – hampir 80.000 penduduk Simeulue mengungsi dan kurang dari tujuh meninggal, demikian dilaporkan PBB.

Penduduk pulau tidak diperingatkan oleh pengeras suara, tetapi mengenali tanda-tanda bahaya dari cerita kehancuran yang diturunkan dari generasi-ke-generasi setelah tsunami 1907.

Mereka merujuk pada cerita smong – sebuah istilah lokal untuk menggambarkan guncangan gempa, tertariknya laut melewati batas rendah tanda ombak dan kembalinya air yang menyeruak ke daratan.

“Terdapat banyak yang bisa dipelajari dari pendekatan berbasis adat, tradisi dan masyarakat terhadap kesiapan bencana alam,” kata Gyampoh.

“Masyarakat asli telah mengembangkan metode adaptasi dan strategi penangatan untuk mengelola lingkungan selama ratusan tahun, dan ini dapat disebarkan ulang untuk menghadapi tantangan besar perubahan iklim.”

Antara 1961 dan 2006, terdapat penurunan rata-rata hujan tahunan sebanyak 22 persen dan peningkatan suhu maksimum rata-rata 1,3 derajat Celsius – peningkatan 4,3 persen di cekungan Sungai Offin Ghana, demikian menurut riset.

“Masyarakat asli mungkin tidak mengerti konsep pemanasan global atau perubahan iklim, tetapi mereka melihat dan merasa dampak perubahan musim dalam pola hujan,” kata Gyampoh, menambahkan bahwa observasi mereka didukung oleh temuan ilmiah.

MENGHANGATNYA GHANA
 
Penduduk pedesaan di Ghana bergantung pada aliran air, sungai dan pengumpulan curah hujan untuk kebutuhan air mereka. John Mauremootoo
Suhu di Ghana meningkat sekitar 1 derajat Celsius dalam 40 tahun terakhir abad 20, ketika hujan dan limpasan menurun pada angka 20 dan 30 persen, kata kajian tersebut, mengutip Badan Perlindungan Alam Ghana.

Sekitar 90 persen penduduka di atas usia 40 tahun di 20 masyarakat desa tinggal di area yang disurvei oleh ilmuwan bergantung pada kali, sungai dan hujan untuk kebutuhan air mereka, katanya.

Berkurangnya hujan dan dampak deforestasi dan degradasi hutan membuat kali mengering, kata laporan tersebut. Di sebagian musim kering, dasar sungai terlihat dan sumur mengering akibat penurunan volume aliran air.

Tidak hanya mengakibatkan kegagalan panen, petani coklat melaporkan pohon-pohon mereka layu akibat sengatan matahari, serta petani sayuran juga menyatakan produksi mereka juga matang terlalu cepat, menurunkan nilainya.

Keterbatasan air selama rendahnya curah hujan juga mengakibatkan masyarakat menjadi lebih rentan terhadap penyakit diare dan malaria seiring dengan meningkatnya jumlah nyamuk.

PENGETAHUAN LOKAL

Penduduk di Cekungan Sungai Offin telah belajar beradaptasi terhadap perubahan suplai air dengan menggunakan kembali air cucian piring, baju dan dengan mengumpulkan air hujan untuk irigasi. Mengumpulkan air hujan adalah metode pertanian tradisional, ditinggalkan setelah lubang dan sumur modern dipasang oleh masyarakat.

Hal yang secara tradisional tabu menggunakan air dalam sehari untuk dewa atau roh menurun akibat modernisasi dan adopsi Kekristenan, tetapi petani sekarang menanam tanaman tahan-kekeringan atau pindah ke dataran sungai di mana air telah tersedia.

Hukung yang memungkinkan perusahan kayu mengambil alih lahan pertanian membuat petani memotong hutan daripada menjaganya ditulis ulang pada 2002. Sekarang petani kembali ke tradisi dengan menggabungkan pohon dalam praktik pertanian atau melindungi pohon, kata kajian tersebut.

“Ketika masyarakat hidup dalam lingkungan tertentu dalam waktu lama, mereka mendapat pemahaman mendalam dan belajar beradaptasi dalam lingkungan mereka,” kata Gyampoh.

Ini bukan sekadar praktik mana yang bekerja, katanya, tetapi memahami mengapa yang lain gagal juga penting untuk menghindari kesalahan berulang.

“Apa yang bekerja secara efektif dalam pengetahuan tradisi, telah terbukti bertahun-tahun melalui eksperimen dan penyesuaian terhadap perubahan lingkungan alami”

“Tantangan yang dihadapi masyarakat adalah tingginya kecepatan perubahan lingkungan melawan lambatnya praktik mereka berevolusi,” kata Gyampoh.

Johnson Nkem, penulis pendamping kajian CIFOR, setuju. Sementara pengetahuan tradisional penting, pengetahuan “modern” atau ilmiah tetap sangat penting, katanya. “Pengembangan pengetahuan lokal bersandar ke arah kejadian berulang yang memungkinkan masyarakat membangun kapasitas dalam rangkaian waktu untuk beradaptasi terhadap dampak iklim, yang bukan kasus ekstrim atau kejutan,” kata Nkem.

“Teknologi dan praktik modern memiliki semuanya untuk belajar dari praktik tradisional,” katanya.

“Pengembangan pengetahuan tidak mucnul dari ruang hampa. Tidak ada ilmu atau modern yang tiba-tiba saja “muncul”. Setiap pengetahuan modern muncul dari adat unik, keyakinan, prinsip, praktik, gagasan dan kebijaksanaan masyarakat pada waktu, khususnya tempat tertentu.

“Inilah pengetahuan tradisional”.


Sumber: 

Dengan tambahan reportase oleh Andrea Booth

Untuk informasi lebih mengenai topik diskusi dalam artikel ini – silahkan hubungi Michael Balinga di m.balinga@cgiar.org.

Penelitian ini merupakan bagian dari Program Riset CGIAR mengenai Hutan, Pohon dan Agroforestri.
Share on Google Plus

About Unknown

Petualang muda yang suka apa saja kecuali belajar berhitung, jatuh cinta dunia Petualangan dan Alam Indonesia. Juga seorang pengagum pohon Bambu dan bunga Dandelion.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar: