basecamp

Catatan Seorang Buruh Di Perkebunan Sawit

Buruh perkebunan kelapa sawit. Foto: ist
Situasi kehidupan  sosial saat ini  sedang berjalan  dengan  penuh dengan tekanan-tekanan baru, menggantikan cara lama dan menampilkan wajah-wajah baru. Wajah-wajah manusia yang tertampil dalam beraneka ragam bentuk dan rupa. Memunculkan peradabanyang bukan hanya mengubah cara bekerja, cara bicara, namun juga membentuk suatu tatanan baru yang terbungkus dalam kepentingan tatanan sosial, ekonomi, poitik dan budaya baru yang pada akhirnya membentuk tatanan struktur manusia lama menuju manusia baru.

Berawal dari kehilafan seluruh masyarakat  yang telah begitu saja menyerahkan beberapa hektar tanah kepada pihak perusahaan perkebunan kelapa sawit di desa mereka dan berawal dari itu jugalah, dengan mudah nasib kehidupan ekonomi mereka di gantung oleh perusahaan yang kini menjadi penguasa  atas tanah yang  dulunya mereka miliki.

Sebut saja seorang ibu ini bernama Rukyah, memiliki tubuh tidak jauh dengan sama dengan masyarakat Sumatra lainnya, ia berusia kurang lebih 41 tahun. Ibu Rukyiah bersama ibu-ibu lainnya yang tinggal di desa yang berdekatan dengan Sungai Selagan Raya menjadi buruh perkebunan kelapa sawit yang berada didesa mereka sejak 3 tahun lalu.

Tidak hanya para ibu-ibu saja yang menjadi buruh perusahaan, namun ada juga beberapa suami- suami mereka yang ikut bekerja menjadi buruh. Bagi mereka, saat ini dan saat seterusnya, perusahaan adalah tempat menggantung nasib kebutuhan hidup. karena tanah-tanah yang dahulu mereka kelola, kini sudah berpindah tangan kepada pihak perusahaan.

Terlepasnya tanah mereka kepada perusahaan, berawal dari para preman perusahaan yang secara paksa memberikan uang 2 juta kepada masing-massing keluarga didesa sebagai bentuk ganti rugi atas tanah mereka yang kini sudah dikuasai oleh perusahaan. Dengan uang 2 juta beserta surat ganti rugi yang mereka tandatangani, menjadikan mereka tidak memiliki hak atas tanah terkecuali tanah yang saat ini berada diatas bangunan-bangunan rumah yang mereka tinggali.

Buruh kelapa sawit. Foto: ist
Diperkebunan tersebut, ada sekitar 50 buruh pekerja laki-laki dan perempuan. Dengan upah 42 ribu, mereka bekerja mulai berangkat dari pukul 05 pagi hingga pukul 18 sore dan hanya memiliki waktu istirahat siang 1 jam. Sebenarnya ada banyak dari masyarakat desa yang ingin bekerja diperusahaan tersebut, namun mereka harus dapat pintar-pintar mengambil hati orang kepercayaan perusahaan. Bukan hanya penyeleksian secara ketat untuk bisa menjadi buruh pekerja diperusahaan tersebut, namun juga, setelah bekerja upah-upah mereka akan dipotong oleh orang yang yang menjadi kepercayaan perusahaan. Salah satu Cara memotong upah para buruh pekerja oleh orang dekat perusahaan tersebut adalah, dengan cara mengambil uang upah lembur, yang artinya pekerja tidak mendaptkan satu rupiahpun dari hasil lembur mereka.

Pada pukul 05 pagi, mobil truk perusahaan yang menjemput biasanya sudah ada didepan rumah mereka. Seperti tidak memperdulikan cuaca buruk yang terjadi, pagi itu Rukyah tergopoh-gopoh berlari kecil diderasnya hujan menuju truk jemputan perusahaan. Beberapa perempuan dan laki-laki tua sudah berada diatas truk, namun terlihat hanya sundulan-sundulan kepala mereka saja. Pemandangan itu tidak berbeda jauh dengan kondisi hewan-hewan yang berada di atas mobil untuk dibawa ketempat pemotongan. Mereka seakan tidak memperdulikan rasa sakit dan  rasa tidak nyaman atas perlakuan yang mereka rasakan saat itu.

Rukyah bukan hanya  hampir tidak memperdulikan akan nasib ketidak nyamanan atas dirinya, namun dia juga terpaksa melupakan beberapa kewajiban untuk anak-anaknya. Rukyah memiliki 2 anak yang masih duduk di bangku sekolah dasar dan disetiap paginya, mereka hampir tidak pernah melihat dan merasakan tegur sapa dari Rukyah. Dalam situasi yang lebih buruk, anak-anak Rukyah bukan hanya tidak pernah bertemu dipagi hari dengan Rukyah, namun juga pada malam sampai mereka tertidur pulas Rukyah sering belum berada bersama mereka.

Pada saat Rukyah menceritakan hal itu, dia hanya berharap anak-anaknya tidak akan mengetahui bahwa dirinya tidak memiliki hak apa-apa ketika perusahaan memaksanya bekerja sampai malam. Rukyah juga tidak berharap bahwa 2 kilo beras yang dimakan oleh seluruh keluarganya, merupakan hasil dari pengorbanan melepaskan harga diri dari seorang perempuan sekaligus ibu bagi anak-anaknya. Dia hanya berharap nasib akan berkata lain untuk anak-anaknya nanti, walaupun dia tidak yakin akan sepenuhnya dengan harapan itu.

Dalam bekerja, Rukyah dan perempuan-perempuan lainnya harus menghabiskan puluhan kilo gram pupuk sawit yang dipikulnya sejauh 2 kilo meter dari pos perusahaan menuju kebun-kebun sawit. Sampai ditempat, mereka tidak selesai dengan itu, mereka juga harus menaburkan secara manual dengan tangan-tangan mereka kesetiap batang pohon sawit milik perusahaan. Tangan-tangan mereka kerap merasa panas dan ada rasa pedih di mata juga sesak pada pernapasan jika sedang menabur pupuk.

Terkadang mereka sesekali menyesali mengapa ladang-ladang yang dulu mereka rawat saat ini justru berpindah tangan kepada perusahaan dan kini, mereka justru menjadi buruh pekerja yang tidak memiliki hak apa-apa di tanah yang dulu mereka miliki.

Dalam beberapa kesempatan bertemu dan bertatap muka langsung dengan mereka, ada perasaan yang begitu terlihat diharapkan dari mereka, perasaan yang ditujukan kepada siapapun dari kita yang melihat mereka, perasaan yang dipenuhi dengan harapan akankah kita bersedia membantu untuk mengembalikan tanah-tanah mereka.


Sumber: Akar.or.ID
Share on Google Plus

About Unknown

Petualang muda yang suka apa saja kecuali belajar berhitung, jatuh cinta dunia Petualangan dan Alam Indonesia. Juga seorang pengagum pohon Bambu dan bunga Dandelion.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar: