basecamp

PAPUA BENTENG TERAKHIR HUTAN TROPIS INDONESIA (Bag.I)

Hutan Indonesia merupakan kawasan yang kaya akan sumber daya alam hayati dan menjadi negara ketiga pemilik hutan tropis terbesar di dunia setelah hutan Amazone di Brazil dan Congo Bazin di RDC dan Kamerun.

A. Kondisi Hutan Indonesia

Hutan Indonesia terkenal sebagai pusat keanekaragaman flora dan fauna dunia, dengan tercatat sebagai urutan pertama untuk mamalia (436 spesies, 51 %), kupu-kupu (121 spesies, 44 %), dan palem (477 spesies, 47 %); urutan keempat untuk reptilia (512 spesies, 29 % endemik); urutan kelima untuk burung (1.519 spesies, 28 %); urutan keenam untuk amfibia (270 spesies, 37 % endemik); dan urutan ketujuh untuk tumbuhan berbunga (29.375 spesies, 59 % endemik).

Kawasan hutan yang demikian luas ini mewakili berbagai macam tipe ekosistem dan tersebar dari Sabang sampai Merauke. Sebagian besar kawasan hutan Indonesia tersebut meliputi hutan lindung dan hutan konservasi yang difungsikan untuk perlindungan sistem penyangga kehidupan, mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, memelihara kesuburan tanah, pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya.

Data Departemen Kehutanan Republik Indonseia, luas hutan di Indonesia berdasarkan pemanfaatannya pada tahun 1950 adalah 162 juta hektare. Pada 1985 atau 35 tahun berikutnya, luas hutan Indonesia berkurang menjadi 119 juta hektar. Dalam kurun waktu 12 tahun, luas hutan di Indonesia menjadi 98 juta hektare atau hilang 21 juta hektare. Sementara pada tahun 2005, luas hutan yang tersebar di enam pulau besar yakni Papua, Maluku, Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi itu tinggal 85 juta hektare. Berarti selama kurun waktu 55 tahun dari 1950 hingga 2005, hutan kita telah hilang 77 juta hektare atau 47,5%.

Kawasan hutan Indonesia berada dalam kondisi yang sangat memprihatinkan dan mengalami tekanan yang cukup serius. Tekanan tersebut puncaknya terjadi selama masa euforia reformasi, baik tekanan terhadap luasan kawasan hutan maupun sumber daya alam hayatinya. Maraknya illegal logging dan illegal trade sumber daya alam serta kebakaran hutan menjadi penyebab utama kerusakan hutan yang merugikan negara trilyunan rupiah. Pada masa reformasi tersebut (tahun 1997-2003) kerusakan hutan diperkirakan 2,83 juta hektar.

B. Profil Hutan Tropis Papua 

Cendrawasih satwa langka Papua yang terancam punah.
Hutan terakhir di Asia Tenggara berada di Papua. Hutan Tropis di Tanah Papua dengan luas 416.000 km2 yakni sekitar 40.5 juta Ha atau 33,74 % dari total luas Hutan Tropis Indonesia (120,35 juta Ha) merupakan salah satu daerah di Indonesia yang memiliki kekayaan flora dan fauna yang sangat beragam dengan nilai keunikannya yang khas.

Sekitar 81,14 % luas lahan di Tanah Papua berupa tutupan hutan yang mengandung kekayaan keanekaragaman hayati begitu tinggi. Papua menjadi penyumbang utama keanekaragaman hayati Indonesia baik dalam tingkat keragamanannya maupun keendemikanya. Diperkirakan 602 jenis burung (52 % jenis endemik), 223 jenis mamalia  (58 % jenis endemik), 223 jenis reptil (35 % jenis endemik) dan 1030 jenis tumbuhan (55 % jenis endemik) hidup dibelantara Papua.

Propinsi Papua dan Papua Barat, merupakan Eden Jardin  (taman  firdaus) yang masih ada dan terlengkap diplanet bumi. Keduanya merupakan bagian dari daratan tertua di gugusan nusantara Indonesia yang terbentuk sejak 195 juta tahun silam. Kedua wilayah di Propinsi ini memiliki  keanekaragaman  hayati  (biodiversitas)  yang  luar  biasa  dan  dikategorikan sebagai ekoregion  Papua. Ekoregion  merupakan  istilah  yang  oleh  World  Wild  Fund (WWF)  didefinisikan  sebagai  unit  air  dan  tanah  yang  menyimpan  sejumlah  species, komunitas alam, dan kondisi lingkungan yang signifikan secara geografis. Hingga kini sekitar 80% permukaan ekoregion Papua (Selanjutnya  disebut  Papua) masih ditutupi hutan hujan tropis dan dijuluki raksasa rainforest karena luasnya yang mencapai 42 juta ha, menjadi rumah bagi 50% biodiversitas Indo-Malaya.

Saat ini Papua menjadi pulau equator terbesar ketiga di dunia yang didiami oleh ribuan satwa endemik, penciri koneksitas species-species Melanesia dengan paparan Sulu-Sulawesi. Pada bagian barat Papua, di kabupaten Raja Ampat,  terhampar 610 pulau  tepat di  jantung segitiga karang dunia. Di tempat ini di temukan 450 jenis karang yang mencakup 75% jenis terumbu karang. Selain itu ditemukan 700 jenis moluska dan 283 jenis ikan dalam 90 menit waktu penyelaman. Total biomassa yang jauh lebih besar dibandingkan dengan kawasan di 'coral  triangle'  MileBay  (PNG),  Seascape  Carribien,  Bunaken  dan  Banggai,  maupun corridor Calamianes di Philipina. Di Papua Barat,  tepatnya di Bintuni,  terhampar gugusan ekosistem mangrove seluas 77,1 % dari total mangrove  Indonesia  dengan nilai  ekonomis sebesar U$.46,5 juta/tahun.

Hutan bagi masyarakat asli Papua adalah gudang makanan, sebab di dalam terdapat sumber obat obatan, makanan dan berbagai sumber kehidupan sehari-hari bagi kelangsungan hidup mereka dari generasi ke generasi. 80% dari populasi masyarakat Papua masih tergantung sepenuhnya dari hutan dan sebagian masyarakat masih hidup sebagai pemburu dan peramu.

C. Degradasi dan Deforestasi Melanda Hutan Papua


Hutan terakhir di Asia Tenggara berada di Papua. Namun keadaannya sangat terancam oleh penggundulan hutan, pertambangan dan perkebunan. Sementara 80% dari populasi masyarakat Papua masih tergantung sepenuhnya dari hutan dan sebagian masyarakat masih hidup sebagai pemburu dan peramu. Dalam beberapa tahun terakhir, mereka banyak kehilangan tanah tradisionalnya. Hilangnya hutan punya dampak yang kuat pada masyarakat, karena hilangnya hutan menghancurkan mata pencaharian mereka. Lahan berburu hilang, sungai yang mengering, sehingga mereka hampir tidak mendapatkan ikan, dan dengan demikian masyarakat semakin miskin.

Sejak tahun 2001, Papua dibagi ke dalam beberapa kabupaten dalam rangka otonomi khusus. Segera setelah pembagian tersebut banyak perusahaan kayu memasuki Papua. Tahun 2001, Departemen Kehutanan mensahkan konsesi penebangan (HPH, Hak Pengusahaan Hutan) kepada 54 perusahaan baru. Perusahaan-perusahaan tersebut membagi-bagi Papua dibawah sepengetahuan mereka sendiri. Mereka bersama-sama menguasai sepertiga dari luas total wilayah Papua. 

Menurut data pemerintah, HPH lebih dari 14 juta hektar dialokasikan kepada perusahaan kayu: diantarnya di daerah Kepala Burung, di wilayah sekitar Teluk Bintuni, di wilayah Utara, dan di wilayah Selatan di kabupaten Boven Digul dan Mappi. Pengecualian berlaku hanya di daerah daratan tinggi. Hampir satu juta hektar berada di tangan industri kertas, dan lebih dari setengah juta hektar milik perusahaan perkebunan. Ditambah lagi ada beberapa konsesi untuk pertambangan. Izin konsesi lahan menunjukan bahwa untuk Industri kayu (HPH), 14.410.351 ha; Industri kertas (HTI), 916.397 ha; dan Perkebunan (HGU), 570.497 ha. Hal ini menunjukkan bahwa tanah dan hutan Papua dibagi-bagi seperti 'kue, atas nama pembangunan.

Saat ini hutan Papua terancam oleh deforestasi dan degradasi dengan adanya ekspor kayu log. Meski ada aturan di tingkat lokal maupun nasional tentang larangan kayu log keluar dari Papua. Penyusutan hutan di Papua diperkirakan sebesar 600 ribu m3 per bulan dan diduga terjadi laju deforestasi yang mencapai 2,8 juta ha pertahun. Hilangnya areal hutan tersebut karena pengelolaan yang tidak bijaksana, pembalakan liar dari perusahaan-perusahaan HPH melalui ijin pengelolaan hutan (IPKMA dan Kopermas) yang disalahgunakan.

Ancaman ini semakin besar dengan adanya kebijakan masyarakat internasional seperti Reduction Emition from Deforestation and Degradation (REDD). Otoritas atas wilayah adat sebagai lahan sumber kehidupan akan terganggu jika skema REDD tidak bisa diimplementasikan dengan baik. Kompensasi yang diberikan oleh negara-negara maju bisa jadi akan menjadi lahan praktek baru KKN di Papua dan tidak akan pernah mensejahterakan masyarakat adat Papua sebagai pemilik. Bahkan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Hutan Adat yang saat ini sedang dibahas oleh Pemerintah Pusat meniadakan hutan adat karena semua hutan akan dikuasai oleh negara. Hutan adat dan masyarakat adat hanya akan diakui melalui regulasi lokal (Peraturan Daerah) sekalipun masyarakat adat sudah beratus-ratus tahun hidup di kawasan tersebut.

Dalam  skala  yang  lebih  luas,  dengan  tingkat  keuntungan  yang  lebih  menggiurkan, menyebabkan  kerusakan  alam yang  lebih  dahsyat.  Sejak  40  tahun  yang  lalu,  pemerintah Indonesia  telah  memutuskan  untuk  memberikan  izin kepada  perusahaan lokal dan asing  untuk membuka  pertambangan  seperti di  Timika dan Kep. Raja Ampat. Pertambangan  ini  memang  memberikan  sejumlah keuntungan  bagi  Indonesia,  namun  tidak  sebanding  dengan resiko  kerusakan  alamnya dimana terjadi kerusakan ekosistem terestrial akibat aktifitas tambang tersebut belum lagi munculnya konflik horisontal di masyarakat. 

Seperti terjadi di kawasan Kep. Raja Ampat tepatnya di kampung Kapadiri Pulau Waigeo bagian Utara dimana terjadi konflik diantara sesama warga masyarakat selama ini menggantungkan hidupnya menjadi tenaga kerja di perusahaan tambang ketika 2 (dua) perusahaan berbeda melakukan eksploitasi di areal yang sama sehingga terjadi tumpang tindih konsesi. Ada sekelompok warga mendukung perusahaan yang satu disisi lain mendukung perusahaan yang lain. Di Kep. Raja Ampat sendiri terdapat 15 Konsesi Pertambangan dimana 9 (sembilan) diantara berada di kawasan Cagar Alam yang sesuai undang-undang tidak diperkenankan melakukan aktivitas di dalamnya. Beberapa kasus juga telah menunjukkan timbulnya efek negatif unsur-unsur logam yang telah mencemari lingkungan ketika sumber air masyarakat tercermar limbah industri tambang serta musnahnya berbagai biota laut ketika air laut tercemar juga oleh limbah industri pertambangan.


Di  Papua  terdapat  74 perusahaan  logging  yang  aktivitasnya  menebang  hutan  seluas  20  kali  lapangan  sepak bola/hari selama 23 tahun terakhir yang mengakibatkan beberapa satwa dari berbagai taksa harus bermigrasi.  Kondisi ini semakin diperparah pada tahun 2004, saat  pemerintah melakukan penebangan legal besar-besaran dengan dalih memenuhi permintaan pemerintah China atas kayu merbau Papua. Keuntungannya menggiurkan, yaitu senilai US$ 1 milyar. Akan tetapi untuk hal ini pemerintah harus menggundulkan hutan seluas 800.000 m3.

Saat  ini  kontroversi  konversi  hutan  menjadi  lahan  sawit  dalam  rangka  memenuhi permintaan bahan bakar biofuel menjadi hangat. Maksimum sembilan  juta hektar hutan di Provinsi  Papua  dan  Papua  Barat  telah  diidentifikasi  oleh Departemen  Kehutanan  untuk dikonversi. Salah satu proyek perkebunan kelapa sawit yang menjadi salah satu ancaman bagi hutan Papua adalah sebuah perusahaan perkebunan minyak kelapa sawit yang bernama PT Medco Papua Hijau Selaras telah mencapai sebuah kesepakatan dengan keluarga-keluarga masyarakat adat di Manokwari untuk penyewaan suatu areal tanah yang sebagian besarnya masih hutan sebesar 5.930 hektar bagi perkebunan kelapa sawit. Perusahaan itu telah mulai membayar Rp. 450.000 atau sekitar 36 dolar per hektar sekali bayar untuk selama 35 tahun. Ini sama dengan Rp. 45 per meter persegi. Sekilas memang bisnis ini terkesan menggiurkan. Indonesia memiliki alam yang sangat  cocok  untuk  penananaman  kelapa  sawit.  Selain  keuntungan  ekonomis,  immage biofuel yang diproduksi di Indonesia seakan menjadi kampanye lingkungan yang baik bagi pemerintah  Indonesia. Padahal, biofuel didiga kuat  justru dapat menghasilkan  emisi  lebih besar dari bahan bakar fosil.

Permasalahan utama terletak pada konsekwensi konversi hutan menjadi  perkebunan  sawit  menghasilkan  CO2  yang sangat  besar. Selain  itu,  seperti disoroti  Paul  J. Crutzen,  pemenang Nobel Kimia  2007,  penggunaan  pupuk tanaman bagi kelapa  sawit  juga memberikan  efek  negatif  terhadap  pemanasan  global, yang  bisa  jadi lebih buruk daripada menggunakan bahan bakar  fosil biasa. Konversi hutan alam menjadi perkebunan kelapa sawit juga telah menimbulkan dampak sosial dan lingkungan hidup yang serius .  Hal  ini memicu  konflik  penguasaan  tanah,  konflik perburuhan, pencemaran  dan  peracunan  akibat  penggunaan  pestisida,  dan  juga  lenyapnya potensi sumber perekonomian hasil hutan non kayu. 

Sejak serbuan industri perkebunan di tanah Papua dimulai dengan tujuan produksi tanaman yang akan digunakan untuk energi dan transportasi itu, masyarakat adat Papua sangat terdesak oleh perkembangan yang pesat sekarang ini. Mereka kehilangan akses mengunakan tanah mereka selama-lamanya. Masalah terbesar dalam sengketa atas tanah adalah hak atas tanah yang tidak dijamin oleh negara. 

Burung Cendrawasih yang dikenal sebagai burung titisan Tuhan dari surga ini di Sorong dijual  dengan  harga Rp.300.000/ekor.  Hal  ini  sudah  berlangsung  sejak  dekade  lalu,  dan mengakibatkan  populasi  burung  semakin menurun.  Para  ornitologist  memperkirakan kepadatan populasi burung cendrawasih hanya tinggal 3 ekor/100 ha.  

Hilangnya hutan punya dampak yang kuat pada masyarakat, karena hilangnya hutan menghancurkan mata pencaharian mereka. Lahan berburu hilang, sungai yang mengering, sehingga mereka hampir tidak mendapatkan ikan, dan dengan demikian masyarakat semakin miskin. Dalam beberapa tahun terakhir ini penebangan hutan telah merubah kehidupan masyarakat adat dalam waktu sangat singkat. Masyarakat kehilangan Hutan, sekaligus kehilangan akses pemanfaatan sumber-sumber daya, yaitu sagu, akar-akaran, binatang buruan, dan tanaman serat.


Sumber : Buletin Konservasi Kepala Burung
Oleh : Rachmad Hariyadi (Calon Penyuluh Kehutanan Balai Besar KSDA Papua Barat)
Foto : google
Share on Google Plus

About Unknown

Petualang muda yang suka apa saja kecuali belajar berhitung, jatuh cinta dunia Petualangan dan Alam Indonesia. Juga seorang pengagum pohon Bambu dan bunga Dandelion.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar: